Senin, 21 Desember 2015

MAMA, SELAMAT HARI IBU!

Tangerang Selatan, 22 Desember 2015
Mama, apa kabar? semoga baik dan tenang disana. Semoga segala doa-doa anak Mama mengiringi ke surga sana. Sudah 21 tahun lebih 5 bulan dan 11 hari sejak hari itu, hari dimana mama "pulang" dalam arti yang sesungguhnya.

Hari ini 22 Desember 2015 diperingati sebagai Hari Ibu, saya selalu mengalami sejenak titik buntu menulis tentang tema ini. Waktu kita yang singkat selama empat tahun enam bulan, ternyata tidak cukup memberikan saya ingatan yang banyak tentang kebersamaan kita. Apalagi di usia saya yang baru lewat empat tahun.

Lain hal dengan tulisan saya mengenai Hari Ayah, dimana saya menuliskan dengan rinci tanggal, bulan, dan tahun dalam setiap moment yang terekam dalam gambar. Maaf Mama, saya tak serinci itu mengingat setiap kenangan kita. Tapi bagaimanapun juga, saya selalu ingat bahwa Mama telah mengurus saya dengan sangat baik. Beberapa kenangan yang terekam dalam ingatan saya adalah ketika saya merengek minta dibelikan es krim saat tukang es krim keliling lewat di depan rumah dengan lagu khas mereka, juga saya mengingat saat saya duduk di dalam mobil yang mengiringi ke pemakaman dan kemudian saya menaburkan bunga di atas makam Mama.

Potongan-potongan foto masa lampau Mama yang berhasil saya kumpulkan, sebagian saya minta dari rumah Nenek dan kemudian saya scan. Foto-foto saat Mama masih kuliah, saat traveling, dan juga saat Mama dan Papa muda dulu. Kemudian saya tahu bahwa hobi saya traveling dan camping menurun dari siapa.


Mama semasa kuliah di Universitas Indonesia,
Sarjana Matematika dan kemudian bekerja sebagai Dosen.


Marlina (Mama), Tembok Berlin Jerman, mungkin sekitar tahun 1980-an.



Foto Mama, saya kurang paham dimana lokasi tepatnya

Papa dan Mama, Menara Eiffel Paris, mungkin sekitar 1980-an.

Foto Pernikahan Papa dan Mama.

Ulang tahun pertama tanpa Mama.

I love you always Mama, meski kita hanya sebentar bersama, tempat Mama tak terganti.
Happy Mother's Day!

Rabu, 11 November 2015

PAPA, SELAMAT HARI AYAH!


Tangerang Selatan, 12 November 2015.
Papa, Selamat Hari Ayah!
Love you always. Yes, both of you. Papa dan si Mpus (Mpus dibawa-bawa segala :p)


Inderalaya, 22 September 2011
Saya masih ingat betul saat menginjak semester keempat, Papa berulang kali menegur "Kamu jalan-jalan terus, kuliahnya gimana?". Saat itu saya hanya menjawab "Papa tenang aja, saya akan lulus tepat waktu."
Janji itu saya tepati saat semester kedelepan saya berakhir, September 2011. Pagi itu kita menempuh jarak kurang lebih 32 kilometer dengan mobil dari Palembang  ke Inderalaya, Papa melirik saya yang kerepotan dengan kain dan sepatu heels tujuh sentimeter. "Nah gitu dong, keliatan kayak cewek kan." katanya saat itu. Hari itu, bisa jadi yang lain mengecewakan saya (yang pada akhirnya saya pikir saya terlalu bodoh untuk kecewa pada orang yang tidak peduli pada saya), tapi Papa tidak. Terima kasih sudah menghadiri wisuda saya, semoga Papa bangga.

Rinjani, 3 April 2015.
Terima kasih papa sudah mengizinkan saya mendaki kesini. Meski saya tahu papa menyimpan rasa khawatir. Perjalanan ini memang melelahkan, saya bohong bila berkata perjalanan ini tidak menguras tenaga saya. Tapi jangan khawatir, saya baik-baik saja bersama dengan orang-orang luar biasa yang mendukung saya. Salam sayang dari 3726mdpl.


Ayahku, lihatlah, aku sudah pulang 
(Novel Ayah – Halaman 384)

Setiap weekend saya lebih sering jarang berada di rumah, Papa cukup paham bahwa ada hal yang selalu dapat saya temukan di luar rumah. Entah sekedar pergi ke kedai kopi atau bahkan mendaki gunung.
Sejauh apapun saya berjalan, selalu ada tempat untuk pulang dan papa adalah alasan untuk kembali pulang dengan selamat.
BSD, 12 Novermber 2015
Selamat hari Ayah, Papa dan semua Ayah di Indonesia. Juga para calon Ayah, semoga menjadi Ayah yang baik.

Senin, 09 November 2015

SENJA DI PULAU TUNDA

Agustus 2015.

Lama libur nge-trip bikin saya tetap jalan meskipun kondisi sedang flu berat (bos saya sampai wanti-wanti jangan sampai Senin saya absen kerja apalagi kali ini tujuannya adalah main air, hehehe). Tujuan kali ini adalah ke Pulau Tunda di Serang, Banten. Saya pergi kesana dengan satu orang rekan kerja saya dan teman-temannya, kira-kira total seluruh tim adalah lima belas orang. Well, satu-satunya orang yang saya kenal adalah teman kerja saya, selebihnya? tidak masalah, beruntung saya bisa beradaptasi dengan cukup baik pada orang baru, lumayanlah bisa traveling dan dapet teman baru juga kan?


Jumat malam pukul sebelas, saya dan teman saya sudah tiba di Serang. Menginap di tempat teman (yang baru saya kenal). Besok paginya kami menuju pelabuhan Karang Hantu dan berjumpa dengan seluruh tim beserta guide Pulau Tunda. Perjalanan menyebrang ke Pulau Tunda kurang lebih tiga jam, pada awalnya semua sibuk berceletoh hingga setelah satu jam kapal berjalan satu per satu mulai tumbang memejamkan mata, entah karena mengantuk atau mabuk laut. Sementara saya dan dua orang lainnya masih sibuk ngobrol, mengomentari perahu lain yang ditarik perahu kami karena ada sedikit gangguan pada mesinnya.

Siang hari kami tiba di Pulau Tunda, makan siang dan sholat kemudian menuju spot snorkling. Saya berkenalan dan sok akrab dengan tour guide kami dari Allay Island, yang kami panggil bang Allay. Kok Allay? Entahlah. Hahahaha. Oke, sudah kebiasaan saya sksd dengan orang baru (kata teman-teman saya) bahkan dibilang "modus". Main air memang menyenangkan, apalagi melihat laut benar-benar sangat luas. Sore menjelang senja, kami sudah tiba kembali di pulau untuk menuju pantai, hunting sunset. Katakanlah saya penikmat senja, saya bisa tiba-tiba berdiam hanya menatap senja. Tidak peduli sementara waktu pada sekeliling saya. Bagi saya menatap senja yang menghilang memiliki sensasi sendiri.

Teman saya bilang senja dimanapun itu sama, yang membedakan adalah hanya dengan siapa.
Ada benarnya juga, tapi bagi saya senja selalu berbeda, meskipun dalam bentuk yang sama.

Malam hari di Pulau Tunda, mungkin akan asik jika ada acara BBQ atau lainnya, tapi malam itu melihat suasana disana pun lebih dari cukup bagi saya. Di halaman rumah tempat kami menginap, anak-anak kecil sedang nonton bareng. Bergembira seperti tak punya beban. Kadang saya berpikir, apakah kita merindukan masa kecil kita? Mungkin iya, tapi kita adalah manusia yang akan terus tumbuh, menua dan mendewasa. Saya berkeliling pulau, melihat kegiatan penduduk dan dermaga di malam hari. Termasuk mengobrol dengan pemilik warung di tempat saya menginap, memesan secangkir kopi hitam.

  
Ketika semua orang sibuk dengan keramaian,
kadang yang saya butuhkan adalah sejenak menepi.

Esok paginya, dengan maksud hunting sunrise saya berniat jalan sendiri menuju dermaga. Rupanya beberapa teman saya mengikuti langkah saya. Di dermaga saya melihat seorang bapak yang baru saja mengangkut bensin dari Serang untuk genset, karena rupanya di Pulau Tunda listrik hanya dinyalakan dari pukul enam sore hingga dua belas malam. Pagi dan siang hari, penduduk menggunakan tenaga surya.


Setiap perjalanan bagi saya selalu menyuguhkan hal baru, memperlihatkan saya hal-hal yang berbeda, membuat saya dipenuhi bermacam pertanyaan, menuntut saya untuk belajar memahami. Semua adalah proses, melepaskan dan menemukan.

Minggu, 01 November 2015

JOGJA LENGKAP DENGAN SECANGKIR KOPI

Judul di atas bukan mengartikan bahwa segala tentang Jogja ada dalam secangkir kopi, ini hanya sepenggal cerita perjalanan (kembali) ke Jogja yang buat saya terasa lengkap dengan secangkir kopi. :)

Selalu ada alasan untuk kembali ke Jogja. Bagi saya Jogja lebih dari sekedar Malioboro atau Tugu, ada berjuta kepingan kenangan yang tertinggal pada setiap sudutnya (agak berlebihan sih). Sempat tinggal hampir tiga tahun di kota gudeg tersebut, membuat saya selalu punya alasan untuk ingin kembali kesana. Oktober 2015 akhirnya saya kembali berkunjung ke Jogja setelah satu tahun meninggalkan kota itu.

Kamis malam 22 Oktober 2015 saya berangkat menuju Jogja dengan kereta ekonomi Progo yang tiketnya sudah dipesan jauh-jauh hari. Tiket yang cukup sulit didapat untuk keberangkatan pada weekend, apalagi kereta Progo berangkat paling malam sangat cocok untuk para pegawai seperti saya ini yang ingin berlibur tanpa harus mengambil cuti banyak.

Jumat pagi saya tiba di stasiun Lempuyangan, menatap pemandangan yang sudah tidak saya lihat setahun lamanya. Jogjakarta dengan semua isinya seolah membawa saya kembali pada semua kenangan lalu. Jangan harap itinerary saya selama tiga hari dua malam di Jogja akan penuh dengan berbagai destinasi wisata. Perjalanan saya kali ini hanya ada dua agenda wajib: Ngopi dan Camping di pantai. Sudah begitu saja, tidak ada dalam list saya untuk berbelanja ke Malioboro.

Jumat pagi sempurna dengan Kopi Merapi tanpa gula

Teman-teman dari MPA Cakrawala menjemput saya di Lempuyangan, Mengantar saya ke tempat seorang kawan yang sudah janji menyuguhkan kopi khas dari Merapi. Agenda wajib pertama saya sudah terpenuhi. Kopi Merapi tanpa gula yang pahit dan sedikit gosong saat penyangraiannya (begitulah kata teman saya). Selepas maghrib kami berangkat ke sebuah pantai di daerah Panggang, Gunung Kidul yang menurut mereka masih sangat sepi pengunjung. Jujur saja, target saya sebenarnya adalah melihat sunset terbaik di tepi pantai, tapi tak apa rupanya kali ini saya lebih membutuhkan ketenangan dibandingkan keindahan sunset. Perjalanan menuju pantai kurang lebih sekitar 2jam lebih dekat dibandingkan harus ke pantai Siung, salah satu pantai favorite saya.

Jam sembilan malam, kami sudah berada di tepi pantai yang ternyata memnag benar-benar sepi dan tenang, Hanya ada tiga tenda disana, dua adalah tenda kami berenam dan satunya milik pengunjung lain. Seusai makan malam yang terlambat, kami sibuk mengobrol sembari ngopi (dua agenda penting saya terlaksana sekaligus dalam saat bersamaan). Beberapa dari kami sibuk mencari kerang atau umang-umang, mengumpulkannya di dalam nesting yang menghasilkan irama khas bercampur suara debur ombak yang deras. Tenang dan sepi, jauh dari kebisingan kota.



Menjelang tengah malam satu per satu mulai berguguran menuju alam mimpi masing-masing, tinggal saya dan seorang teman yang masih sibuk dengan unggun yang dijaganya agar tetap menyala hingga subuh menjelang. Mengobrol sembari rebahan di atas hammock hingga pukul setengah lima pagi. Tidur selama satu jam cukup bagi saya untuk melihat keindahan pantai pagi hari, sunrise? di pantai ini rupanya kita harus mendaki bukit dulu untuk melihat matahari terbit dan sayangnya saya kesiangan untuk itu. Jadi saya harus cukup puas melihat matahari yang sudah menyembul dari balik bukit pada pukul enam pagi.

Pagi itu saya hanya ingin jadi pengamat, memantau pantai sepi dengan ombak yang deras. Hanya sekedar menikmati sisa unggun semalam yang sudah padam. Semua sederhana saja, saya hanya perlu sejenak menepi.

Traveling itu bukan sekedar tempat tujuan. Ini tentang proses perjalanan. Melihat dan belajar memahami banyak hal, ada begitu banyak hal sederhana yang indah. Perjalanan adalah tentang melepaskan dan menemukan.
Terima kasih teman-teman :)

Malam harinya kami sudah kembali ke Jogja menikmati kopi klotok di selokan mataram seberang fakultas peternakan UGM. Tempat dulu saya sering bertemu dengan kawan saya yang sekarang sedang di Papua bersama suaminya. Sayangnya kali ini saya kecewa dengan kopi susunya yang menurut saya terlalu encer dan tidak ada rasa khasnya, yah memang yang enak dan khas adalah kopi klotoknya.



Sebenarnya masih banya kedai kopi yang ingin saya kunjungi, kedai-kedai kopi dimana dulu saya menghabiskan malam-malam saya selama tinggal di Jogja. Sayangnya waktu berlibur yang singkat membuat saya tak sempat mengunjungi Blandongan Kopi, Mato Kopi, ataupun Secangkir Jawa. Semoga perjalanan lain waktu sempat kembali ke Jogja dan menikmati Jogja dalam secangkir kopi.

Bagi saya, Jogja lengkap dengan secangkir kopi. Sederhana saja bagi saya kadang traveling tak melulu tentang foto selfie di berbagai tempat wisata, yang ingin saya lakukan adalah menikmati perjalanan itu sendiri, bagaimanapun caranya.

Selasa, 13 Oktober 2015

BERBEDA, BUKAN BERARTI KITA BERHENTI NGOPI BARENG

  
Siang ini saya berdebat tentang kopi dengan seorang teman. Seperti biasa, ngopi adalah ritual wajib bagi saya dan beberapa rekan kerja di kantor. Siang tadi teman saya datang ke ruangan saya, mengajak untuk menyeduh kopi. Saya yang sedang tanggung dengan pekerjaan menyuruhnya minum kopi yang sudah saya seduh sebelumnya.
 
"It's not good." katanya setelah meneguk kopi saya.
"Itu enak banget tau, kopi susu tanpa gula." saya menjawab.
"Lu harus biasain kasih gula ke kopi lu biarpun sedikit." teman saya itu kekeuh bahwa kopi yang enak adalah kopi dengan gula.

Kemudian bla bla bla blaaaaaa, kami mulai ngoceh tentang kopi; kopi dengan gula, kopi tanpa gula, kopi dengan susu tanpa gula, juga kopi dengan susu dan gula. Saya dengan pendapat bahwa kopi itu nikmat dengan rasa pahitnya, mulai berceloteh tentang quotes-quotes tentang kopi entah itu berasal dari novel Andrea Hirata, Dee, ataupun kata-kata yang saya karang sendiri. Begitu juga teman saya yang mulai meracau tentang kopi yang terlalu pahit bisa membuat saya lupa akan manis, termasuk cinta. Mulai ngaco kan?

Well, akhir-akhir ini saya memang menerapkan no sugar pada kopi saya. Minum kopi tanpa gula? jelas pahit. Sesekali saya hanya mencampurnya dengan sedikit susu kental manis. Ini hanya soal selera menurut saya, saya tidak begitu menyukai kopi dengan rasa manis berlebih. Saya lebih suka kopi yang dominan dengan rasa pahitnya, tertinggal di lidah.

Perdebatan terhenti ketika saya rasa bisa menunda pekerjaan saya sejenak. Mata saya beralih dari layar komputer, beranjak mengangkat gelas saya yang hampir kosong.
"Ayo bikin kopi."

Perbedaan selera bukan berarti kita berhenti ngopi bareng kan? Nikmati kopi antara kita, karena disitulah letak nikmat sebenarnya. Kopi lebih dari sekedar bubuk hitam, kopi menghadirkan banyak kisah dan perbincangan.

Untuk kalian yang ngopi bareng saya :)

Kamis, 01 Oktober 2015

KOPI, KAMU, DAN SENJA


Bicara soal kopi, kita punya selera dan kesepakatan yang mirip. Ya mirip, artinya hampir sama tapi tak sepenuhnya. Hitam, pahit dan kental tentu saja. Tapi kadang kita melanggar, menambahkan sedikit krimer, susu, dan gula sesuai suasana masing-masing. Bicara soal kopi pula, kita setuju bahwa kopi adalah cairan yang wajib kita minum sehari-hari. Kopi hitam selalu hadir dalam perbincangan kita, kita selalu punya alasan untuk menghadirkannya antara kita.

Masih juga tentang kopi, kita mengerti bahwa kopi adalah pahit. Justru itu yang kita sukai. Kita pernah sepakat bahwa kopi tanpa gula itu menyenangkan, seperti cinta tanpa rasa sakit. Bicara tentang cinta, kita pernah sepakat tidak menghadirkannya antara kita. Bicara tentang cinta, apa yang kita ketahui selain rasa sakitnya? Atau kita memang tak pernah paham tentang cinta. Kemudian kita bernegosiasi untuk tidak membicarakan cinta, menyimpannya diam-diam biar mengendap seperti ampas kopi.

Kopi, kamu, dan senja. Senja itu aku duduk antara kamu dan kopi. Menulis kesepakatan-kesepakatan kita dalam cangkir tentang kopi dan cinta. Senja itu rupanya aku berhenti mencintaimu, tapi aku tak berhenti mencintai kopi. Seperti halnya yang kamu lakukan.

Ngomong-ngomong, katanya ini hari kopi sedunia. Selamat minum kopi ya kamu! :)

1 Oktober 2015, sebelum senja hilang.

Senin, 14 September 2015

Ketika Cinta Terpaksa Mengalah

Katanya cinta itu kemurnian mengasihi dan menyayangi seseorang. Cinta itu kekuatan. Tapi apa jadinya saat cinta mengalah pada materi, jabatan, ataupun harga diri?
Saat itu mungkin cinta berubah menjelma jadi ketulusan untuk tidak pernah memiliki, atau berubah menjadi luka yang bersemayam dalam lubuk hati paling dasar.



Ani.
Namanya Ani. Saat itu masih duduk di kelas empat pendidikan Sekolah Dasar, usianya belum ada sepuluh tahun. Tinggal di sebuah gubuk dari rotan di pinggiran kota. Kulitnya hitam, mungkin akibat berjemur membantu ibunya mengurus kebun yang bukan milik mereka. Di sekolah hampir seluruh teman sekelasnya memandangnya dengan mengernyit. Tak ada yang mengajaknya main, kecuali dua orang gadis sebayanya yang akhirnya diajaknya berkunjung ke gubuknya yang masih beralaskan tanah merah. Dua gadis yang tak segan meminum teh tawar bubuk yang bahkan tak disaring.

Tak ada anak lelaki di kelasnya yang menyadari senyumnya yang manis, bermain puteri-puteri-an dengan dua temannya itu. Tapi bagi Ani, punya dua orang teman sudah lebih cukup meski tidak sampai setahun. Menginjak kelas lima, Ani berhenti sekolah. Ani akan menikah, tuan tanah pemilik kebun hendak memperistrinya. Laki-laki dewasa yang mungkin lebih pantas dipanggilnya "Bapak" menjadi suaminya. Atas dasar keadaan ekonomi keluarga dan ketidakberdayaan, Ani sepakat menjadi istri di usianya yang masih sepuluh tahun. Ani tak punya pilihan

Tegar.
Bekerja sebagai manajer senior di sebuah perusahaan telekomunikasi ternama, tak menjamin perjalanan cinta Tegar setegar namanya. Hampir ia mempersunting seorang gadis yang ia cintai. Meski pada akhirnya ia harus merelakannya pergi. Membiarkan hatinya terluka, pun dengan hati Indah, perempuan yang dicintainya. Orang tua Tegar tak merestui rencana pernikahan mereka, Tegar dijodohkan. Demi jabatan dan karir, serta hutang budi keluarga mereka pada keluarga komisaris utama tempat Tegar bekerja.

Bukannya Tegar tak punya pilihan, tapi ia begitu takut untuk berani memilih resiko. Setidaknya itulah anggapan Indah, yang selama satu bulan meratapi hubungannya yang kandas begitu saja karena perjanjian yang mengatasnamakan jabatan dan materi. Perasaan cinta rupanya dapat berbalik menjadi benci yang mendalam. Benci karena merasa tak diperjuangkan.Meski pada akhirnya baik Tegar ataupun Indah merelakan untuk saling melepaskan.

Wina.
Dua puluh tujuh tahun. Di usia yang perlahan semakin mendekati tiga puluh, Wina kerap kali jadi sasaran pertanyaan "kapan nikah?". Bukannya tak ingin atau terlalu berambisi mengejar karir, tapi Wina tak pernah memberi kesempatan pada dirinya sendiri. Berkali mencoba sebelumnya dan selalu gagal membuatnya sulit untuk percaya bahwa ia siap untuk jatuh cinta lagi.

Dua tahun lalu, terakhir kali disandarkan hatinya pada lelaki yang rupanya mampu mencintai beberapa perempuan sekaligus. Hal yang mungkin bisa diterima sebagian kecil kaum perempuan dan Wina tidak termasuk golongan itu. Hatinya hanya mampu mencintai satu lelaki dan tidak cukup berbesar hati untuk menerima adanya perempuan lain dan pada akhirnya mengakhiri hubungan cintanya. Memaafkan adalah perkara mudah, toh akhirnya Wina mampu kembali bangkit setelah patah, mampu melepaskan dan menerima bahwa lelaki itu tak pantas untuknya. Tapi melupakan adalah hal sulit untuknya, ditutupnya hati dan dikuburnya kenangan itu pada ruang yang disebut luka. Wina selalu punya pilihan, namun ia tak pernah memilih apapun, bahkan untuk memberi kesempatan pada dirinya sendiri. Sampai saat ini pun, Wina selalu punya pilihan.

Kamis, 10 September 2015

KOPI DAN SENJA

Jatuh cinta itu perkara mudah, tapi bisa menjadi sulit.
Ketika kita tak pernah benar-benar siap untuk patah.


Tidak terhitung detik kita habiskan bersama, tertawa atau sekedar saling duduk berdiam bersebelahan.  Ada begitu banyak waktu yang kita lalui, siang atau malam, fajar juga senja. Kita tak pernah mampu menghitung setiap tawa yang kita cipta bersama. Tak sanggup pula meruntun, berapa banyak lelahku yang terbenam pada bahumu, juga seberapa besar nyaman yang kau temukan saat mendekapku.

Ada banyak hal yang kita sepakati, pun hal yang tidak kita sepakati. Hal-hal yang kemudian kerap kali kita bicarakan dengan cangkir-cangkir kopi yang masih mengepul, hangat. Berlomba dengan kepulan asap dari rokok yang kita bakar. Kopi hitam yang selalu ada diantara kita, pahit. Begitu banyak yang saling kita sukai, meski kita tak pernah paham perbedaan antara menyukai dan mencintai. Tapi kita sepakat untuk tidak saling jatuh cinta, kita tahu pasti kita tak pernah siap untuk itu, kita belum siap untuk patah. Kita belum mampu mencintai selain kopi dan senja.



Lalu bagaimana jadinya jika kita pada akhirnya melanggar kesepakatan, sementara kita tahu kita tak pernah siap untuk itu?

KOPI DAN TEH



"Kopi itu seperti dia, selalu bikin rindu. Tapi sulit bagi saya untuk kembali padanya." Ujarnya sambil menyeduh teh. Saya seketika menoleh, mengerutkan kening menuntut penjelasannya lebih lanjut. Sahabat saya tetap asik menyeduh teh, yang sudah menggantikan kopinya selama satu bulan ini. 

"Aromanya kuat, saya rindu. Sebesar rindu saya pada dia." lanjutnya, melirik cangkir saya yang berisi kopi. Sedikit tergoda namun tetap bertahan untuk tidak meminum kopi, meski saya tahu keinginannya sangat besar.

"Bagaimana perasaanmu setelah kamu mengganti kopi dengan teh?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir saya, mengingat sosoknya adalah seorang penikmat kopi. Setidaknya sampai satu bulan yang lalu. Sebelum akhirnya sesuatu membuatnya memutuskan beralih pada teh.

"Entahlah, mungkin saya hanya perlu terbiasa, seperti saya harus tidak bersamanya meski perasaan saya tetap sama. Tapi saya merindukannya, kopi dan dia." Jawabnya sambil meminum tehnya perlahan. Menghirup aromanya kemudian menghela, saya tahu ada yang tak pernah lepas dari setiap helaannya. Sesuatu yang membuat hatinya begitu lelah.

"Sudahlah. Sampai kapan kamu tidak berhenti mengingatnya. Tinggalkan ia di belakang, kamu berhak atas kebahagiaanmu sendiri. Ayolah." Akhirnya saya berucap setelah paham bahwa pembicaraan ini bukan sekedar tentang kopi atau teh, tapi juga tentang masa lalunya yang belum mampu dia lepaskan.

"Tidakkah kamu berpikir bahwa kita sama? Kita sama lelahnya, kita sama tak pernah paham tentang perkara hati dan perasaan. Hanya saja sekarang saya memilih teh meski saya juga mencintai kopi, karena suatu alasan dan saya yakin kamu tahu itu." Panjang dia memburu saya dengan pertanyaan dan pernyataannya. Setengah menuntut saya untuk bercerita.

"Bicaramu aneh. Minum saja tehmu." Kata saya kemudian meninggalkannya bersama cangkir tehnya.

September 2015
Untuk sahabat saya yang sedang belajar terbiasa dengan teh.

Rabu, 02 September 2015

Jika Jalan Kita Tak Lagi Searah



Jika memang pada akhirnya jalan kita tak lagi searah, suatu hari nanti kita akan baik-baik saja

Kita pernah berjalan beriringan, melangkah seirama menuju tujuan yang sama. Padamu kusandarkan segala letih, kumusnahkan segala resah. Padaku kau genggam impian, harapan yang kau jaga untuk tumbuh menjadi nyata. Selalu ku minta jangan lepaskan aku, meski berkali aku gamang mengikuti langkahmu. Kau genggam tanganku erat takut terlepas.

Jalan yang kita lalui panjang, terlambat kembali karena sudah terlampau jauh. Jalan yang tak pernah kita tahu akan sulit sebelumnya. Berkali kita tak lagi saling bersandar atau menggenggam, sendiri berusaha membunuh lelah dan harapan. Kita pernah lelah dengan semua ini meski tetap mampu seirama. Lelah yang pada akhirnya memuncak, memaksa kita melepas. Saat itulah kita tahu arti melepaskan.

Jika pada akhirnya kita tak lagi bersama, kau tetap akan ada sebagai kenangan. Kenangan yang tersimpan rapi sebagai masa lalu. Kita mungkin akan saling menjauh untuk mengerti bahwa perlu ada jarak. Tapi jika memang pada akhirnya jalan kita tak lagi searah, suatu hari nanti kita akan baik-baik saja. Suatu hari nanti kita akan siap dengan perasaan yang tak lagi sama.

Rabu, 26 Agustus 2015

PULANG



Ada yang datang dan pergi.
Bahkan sekalipun kau menutup hati,
Ada yang memilih pergi, meski ingin tinggal.
Ada yang tetap tinggal meski tersakiti hampir mati. 

Sepanjang apapun, serumit apapun.
Yang kau tempuh selalu menuju pulang.
Meski sering kau menolak.

Percayalah, suatu saat nanti.
Pada akhirnya nanti.
Kita akan pulang kesana.
Pada hati yang kembali siap terbuka.

Jumat, 14 Agustus 2015

AUGUS(T)RUST

“It has been said, 'time heals all wounds.' I do not agree. The wounds remain. In time, the mind, protecting its sanity, covers them with scar tissue and the pain lessens. But it is never gone.” 
-Rose Kennedy-



Yes, i do not agree. But, i want to trust.

Agustus tujih tahun lalu, sejak saat itu lah Senja ingin percaya.  Waktu menyembuhkan luka. Lima tahun lalu, bulan Agustus di suatu tempat, kaki gunung di Jawa Tengah. Senja menghela nafas, seperti udara setiap helaannya tak mampu menghitung lukanya. Tengah malam matanya belum juga mampu terpejam padahal tubuhnya lelah setelah hampir tujuh jam berjalan menuruni pegunungan. Dingin air yang mengguyur tubuhnya seolah bukan apa-apa, hatinya lebih dingin dan beku

Agustus satu tahun kemudian, kota kembang rupanya memberi sedikit warna meski hanya abu-abu. Setidaknya saat itu lagi-lagi Senja ingin percaya bahwa waktu menyembuhkan luka. Setiap pertemuan akan ada perpisahan, entah seperti apapun itu terjadi, semesra atau seburuk apapun itu berakhir. Berkali ia berusaha ingin percaya namun dalam dirinya sebagian menolak. Bergeser dari kota kembang, pelan-pelan ia mulai mencari-cari kembali apa yang bahkan ia tidak pahami.

Agustus-Agustus berikutnya, Senja selalu berusaha melapangkan hatinya untuk percaya. Tapi kembali yang ditemukan luka. Sekali lagi, sebagian dirinya menolak. Sebagian yang tak mampu ia kendalikan, menolak melupakan luka. Luka yang sejak Agustus itu menetap dalam hati, berdiam dan tak jua pergi. Luka yang setiap Agustus berontak meski mati-matian ia berusaha percaya, waktu akan menyembuhkan luka. Benarkah?

Agustus ketujuh, setelah berkali membuka dan menutup hati hingga nyaris tak ingin percaya lagi. Akhirnya ia sampai pada saat itu. Saat dimana pada akhirnya ia percaya, bahwa luka mungkin tak pernah benar-benar pergi. Saat dimana akhirnya ia percaya, suatu saat ia akan baik-baik saja. Agustus ketujuh, Senja berhasil memberi kesempatan pada dirinya sendiri, belajar mencintai dirinya sendiri, dan kemudian menemukan bahwa ia baik-baik saja.

Agustus, Senja selalu berusaha percaya. Pada akhirnya ia akan baik-baik saja. Pada akhirnya, ia tahu selalu ada kopi dan senja yang bisa dinikmati.

Serang, Agustus ketujuh.
pic: google

Kamis, 23 Juli 2015

IBU

Untuk Ibu yang terlalu singkat saya kenal, yang tak sempat saya ingat dengan baik.

Dua puluh satu tahun yang lalu, ketika usia saya belum lagi lima tahun. Bahkan saat dimana saya belum mengerti apa arti "pulang" sesungguhnya. Dua puluh satu tahun lamanya, saya yang menjajaki kehidupan tanpa mengenal sosok Ibu seperti yang lainnya. Selama itu pula saya mengumpulkan kenangan-kenangan dari lembar-lembar foto yang saya temukan, berusaha mengingat, mengerti seperti apa sosok Ibu. Menangkap memori tentang Ibu dari segala yang dikisahkan orang-orang tentang Ibu.

Saya tahu, bukan hal sulit untuk tumbuh tanpa Ibu di sisi saya, juga bukan hal yang menurut saya mudah. Tapi pada kenyataannya, saya mampu melewati masa-masa itu dan sampai pada titik ini. Begitu banyak orang menulis tentang Ibu mereka, mungkin terlihat lebih mudah menulis tentang Ibu, tapi tidak bagi saya. Sampai pada tulisan ini, saya mengalami kebuntuan tentang apa-apa yang akan saya tulis tentang Ibu. Berbekal foto-foto yang tak banyak dan kisah yang juga tak terlalu panjang tentang Ibu.

Ibu, saya ingat pernah merengek minta es krim ketika es krim keliling lewat di depan rumah kita. Saat itu mungkin usia saya belum empat tahun, sampai saat ini saya masih menyukai es krim yang mengingatkan saya pada memori itu. Ibu, saya menemukan beberapa lembar foto yang saya lepaskan dari album yang disimpan oleh nenek, yang kemudian saya scan dan saya simpan. Foto semasa Ibu masih muda, berdiri di depan tembok juga foto dengan Ayah di bawah sebuah menara.

Semua orang bercerita tentang Ibu yang ramah, seorang dosen, banyak teman dan keras kepala. Orang bilang, banyak sifat Ibu turun kepada saya termasuk pula pemberani dan pemberontak. Nenek bilang, Ibu pernah menolak bersekolah di sekolah pilihan nenek, walau pada akhirnya tetap menurut. Hal itu pernah terjadi juga pada saya yang berontak dengan Ayah mengenai pendidikan. Tante atau adik Ibu juga bercerita bahwa Ibu adalah kakak yang rela berkorban untuk mereka, meski bawel dan keras kepala.

Ibu, banyak perubahan terjadi sejak dua puluh satu tahun lalu. Perubahan-perubahan yang tak akan sempat saya ceritakan. Satu yang tak berubah, tempat Ibu tak pernah tergantikan meski saya tak bisa upload foto dengan Ibu atau shopping dengan Ibu seperti teman-teman saya. Saya tahu pasti, ada memori yang tetap tersimpan, tetap tinggal. Memori tentang Ibu yang terlalu singkat, yang belum sempat saya bahagiakan di dunia.

Untuk Ibu, yang tak pernah benar-benar pergi.

Juli, 2015

Jumat, 10 Juli 2015

JALAN PULANG



Senaru, April 2015
Siapa sangka senyum kadang mengandung luka. Mungkin kita pernah berpikir, kadang tersenyum adalah topeng menyembunyikan sedih. Percayalah, sebelum foto ini diambil saya tidak benar-benar baik-baik saja. Sebelum foto ini diambil, mungkin ada beberapa frame foto yang menunjukkan saya tidak tersenyum. Frame-frame yang mungkin terdokumentasikan oleh lensa kamera atau sekedar lensa mata orang-orang yang sabar berada di sisi saya selama berjuang menyelesaikan perjalanan. Orang-orang luar biasa yang membiarkan saya membawa pedih dan mengobati luka saya sendiri, namun tetap berada di samping saya. Sebelum foto ini diambil, jangankan meloncat, berjalan pun terasa sangat penuh perjuangan. Mungkin tidak sampai tertaih, tapi terasa berat meski mampu ditutup oleh tawa. Sebelum foto ini diambil, saya berjalan dengan pikiran gamang penuh tanya pada diri saya sendiri.

Tapi saya percaya, pada akhirnya saya akan tetap baik-baik saja. Menyelesaikan apa yang saya mulai, menuju jalan pulang.

Kamis, 09 Juli 2015

A Y A H

Tidak perlu menunggu 12 November dimana Hari Ayah diperingati secara nasional untuk menulis tulisan ini. Tulisan yang secara rima mungkin berantakan, tulisan yang awalnya ragu untuk memulai dari kata yang mana. Percayalah, bahkan tulisan ini sepanjang apapun nantinya tetap tidak bisa menjelaskan semua tentang sosok yang saya sebut AYAH.

Baiklah, dua puluh lima tahun lalu bisa jadi saya adalah bayi berwarna merah yang merepotkan Ayah. Menangis karena ngompol atau meminta ditimang tak peduli meski ia baru saja pulang kerja. Serepot apapun Beliau, saya yakin saya pula yang menjadi sumber kebahagiaannya saat itu. Saya tumbuh menjadi gadis yang merepotkan, Ayah harus bekerja keras untuk membelikan segala keinginan saya yang saat itu belum mengerti keadaan finansial Ayah saat itu

Saya tumbuh menjadi kanak-kanak dan remaja, saat saya duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) pertama kalinya saya mengalami yang juga dialami remaja perempuan lainnya, haid/menstruasi. Saat itu saya sadar ada yang berubah dalam diri saya, saya adalah gadis yang beranjak dewasa. Tidak seperti yang lain yang mendapatkan ceramah tentang haid dari Ibu, saya sendirian belajar memahami menagpa seorang perempuan mengalami haid. Mungkin Ayah terlalu canggung untuk menjelaskan pada saya, bagaimana proses sel telur yang tidak dibuahi meluruh menjadi darah. Katanya seorang anak cenderung lebih dekat dengan Ibu, tapi tidak bagi saya yang mungkin tak punya pilihan lain. Tapi bagaimanapun juga, sedekat apapun anak gadis dengan Ayah tetap ada jarak, jarak yang mesra menurut saya.

Saya terus tumbuh menapaki tangga-tangga usia yang bisa dibilang tidak lagi remaja, saya adalah gadis dewasa yang selalu harus belajar mendewasakan diri. Tapi bagi Ayah, saya tetap gadis kecilnya, gadis yang perlu dikhawatirkan, dijaga, dan dilindungi. Seringkali saya dapati Ayah belum tidur ketika saya belum pulang, kadang pesan singkat yang saya kirimkan sekedar memberi kabar sudah lebih dari cukup bagi Ayah. Ayah tidak akan banyak bertanya ketika saya pulang kerja lebih malam dan memilih segera masuk ke kamar, tapi Ayah akan sekedar menyusul saya menanyakan apa saya sudah makan atau belum. Saat itu kadang saya merasa sangat bersalah, sambil berkata dalam hati "Maaf Ayah, saya sangat lelah untuk bicara pada siapapun." dan Ayah mengerti dengan segera keluar dari kamar saya, membiarkan saya tenggelam dalam ruang privasi saya.

Ayah (mungkin) memang tak sebawel Ibu, tapi saya yakin bahwa ia menyimpan begitu banyak kekhawatiran saat saya pergi dari rumah untuk melakukan kegiatan alam bebas yang sudah saya lakukan sejak SMA. Pernah suatu ketika, saat saya mengambil cuti dan pergi untuk mendaki gunung di luar Jawa, subuh buta Ayah dengan ikhlas mengantar saya menuju travel. Tidak hanya itu, ia bahkan setengah memaksa untuk mengangkatkan carrier, yang kemudian saya tolak dengan berkata "Saya bisa melakukannya Ayah, tak usah khawatir.", mungkin saat itu Ayah berpikir bagaimana gadisnya akan membawa beban seberat itu, meski di sisi lain hatinya ia tahu gadisnya akan mampu melewati segala kesulitan.

Dalam jarak, saya juga yakin bahwa selalu ada doa Ayah untuk saya. Doa semoga saya menyelesaikan studi saya dengan baik, mendapat pekerjaan yang baik, dan segala hal baik lainnya untuk saya. Ayah tidak akan menolak ketika saya merengek minta es krim, bahkan di usia saya dua puluh lima tahun. Tapi Ayah tahu, saya sudah memilih untuk selalu belajar mandiri. Saya bukan lagi gadis kecil yang merengek, saya sudah belajar untuk mendapatkan sesuatu dengan perjuangan. Dibalik sikap Ayah yang memanjakan saya saat kecil, selama saya tumbuh Ayah tak lupa mengajarkan saya untuk berjuang jika ingin mendapatkan sesuatu. Ayah tahu saya tumbuh menjadi perempuan keras namun tetap memiliki kelembutan yang perlu dijaga. Ayah tahu saya bukan lagi gadis yang akan menangis di depannya, mengeluhkan segala permasalahan saya. Ya, gadis kecil Ayah telah memilih untuk mandiri, dan Ayah menghargai itu.

Untuk Ayah, yang tak pernah cukup kata-kata saya tuliskan.
Tangerang, Juni 2015

Senin, 06 Juli 2015

SEBOTOL AIR MINERAL

Jakarta, Maret 2010

picture: google

Sudah lewat tengah malam, perempuan itu masih saja berdiam di kursinya. Untung saja kedai ini 24 jam, sehingga tak ada yang akan mengusirnya yang tengah asik dengan kopi dan rokoknya. Ini sudah gelas ketiga kalau ia tak salah hitung, diantarkannya cangkir itu ke hadapan perempuan itu. "Gelas ketiga nona, terlalu banyak kafein malam ini, ada baiknya pula Anda berhenti merokok." Perempuan itu menerima kopinya sambil melirik tajam padanya seakan berkata "apa urusanmu!". Perempuan itu acuh tanpa menoleh lagi, lelaki itu, Pram, akhirnya menyerah pergi kembali pada pekerjaannya.

Senja, perempuan itu sudah menghabiskan hampir tiga gelas kopi dalam lima jam. Handphone-nya berdering, panggilan masuk yang kelima kalinya tak diangkat. Tak lama pesan singkat pun muncul. Ia tak bergeming, tak ingin diganggu. Sibuk menyeruput kopi yang disadarinya telah hampir habis pula, dipanggilnya lelaki tadi memesan secangkir lagi. Lima belas menit kemudian, lelaki itu kembali datang mengantarkan kopi dan sebotol air mineral. Senja menoleh hendak protes karena tidak memesan selain kopi. "Terlalu banyak kafein tak baik nona, air mineral akan banyak membantu." Lelaki itu berkata dan tersenyum.

Pram sudah hendak berbalik, ia merasa tak pantas mengusik kesendirian perempuan itu. Rupanya perempuan itu memanggilnya "Hei, terima kasih." Pram menoleh dan melihat senyum pertama perempuan itu setelah lima jam lamanya.

Untuk Pram dan sebotol air mineral, terima kasih.

Selasa, 30 Juni 2015

Juni dan Hujan


Tangerang, Juni 2013
Hujan bulan Juni, untuk setiap tetes rintik airnya yang jatuh mencium tanah. Perempuan itu memandang tetes-tetes yang mampir pada jendela kamarnya, pelan-pelan jatuh melebur dengan tetes yang lain kemudian hilang, melalui media-media lain hingga menyatu meresap dalam tanah. Hujan bulan Juni,  hampir setahun diam-diam rindu itu menetap, betah menunggui hatinya. Setia mengiring pada penantian. Hujan bulan Juni, lepas dari langit jatuh dengan bebas, menemui tanah dan menyatu. Ya, tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni. Apa lagi yang kau tunggu? bukankah melepaskan dapat berarti menemukan?

Untuk Juni yang bimbang,
Selalu ada kesempatan, belajarlah memberi kesempatan pada dirimu sendiri.

Kamis, 14 Mei 2015

(Bukan) Gerbong Khusus Wanita

Malam itu hari libur nasional tanggal 14 Mei 2015. Usai piknik ke daerah Sentul, saya menggunakan kereta Commuter Line (CL) dari Pasar Minggu untuk menuju daerah Serpong. Sejujurnya, ini pertama kalinya saya naik kereta dari stasiun Ps.Minggu. Setelah  bertanya pada petugas stasiun, barulah saya tahu bahwa saya harus transit di stasiun Tn.Abang terlebih dulu untuk kemudian melanjutkan naik kereta ke Serpong. CL dari Ps.Minggu malam itu tidak terlalu ramai, tidak banyak orang yang berdiri di dalam gerbong, pun saya yang sudah nyaman duduk di sudut kursi. Fyi saja, saya naik di gerbong campuran bukan gerbong khusus wanita. Begitu pula saat tiba di stasiun Tn.Abang, setelah lari-lari naik turun tangga karena kereta menuju Serpong sudah siap berangkat (maklum sudah jam sembilan malam dan itu hari libur), saya hanya melewati gerbong khusus wanita dan sengaja masuk di gerbong campuran di belakangnya. Saat itu petugas yang saya lewati mungkin berpikir kenapa saya malah sengaja berlari lebih jauh menuju gerbong di belakang, padahal masuk ke gerbong khusus wanita lebih dekat.

Jadi malam itu, saya berdiri di gerbong kereta sejak dari stasiun Tn.Abang. Kebanyakan perempuan yang ada di gerbong itu dan juga berdiri adalah mereka yang pada umumnya berpasangan dengan laki-lakinya. Tidak ada yang menawarkan tempat duduk untuk saya, tidak masalah saya masih dalam keadaan mampu untuk berdiri bahkan sampai Serpong, meski akhirnya di stasiun Sudimara saya mendapatkan tempat duduk. Gerbong khusus wanita, saya jadi teringat sebuah tulisan di kompasiana yang bercerita tentang hal ini. Secara pribadi, saya termasuk wanita yang lebih cenderung naik di gerbong campuran dibanding gerbong khusus wanita, mungkin dikarenakan saya menyadari bahwa terkadang kita sebagai wanita lebih egois terhadap wanita lain, hal ini pula yang juga jadi pertimbangan teman-teman wanita saya untuk naik gerbong campuran dibanding gerbong khusus wanita. Selain itu, saya rasa dalam tulisan kompasiana itu ada benarnya juga, bahwa wanita harus mampu bersaing dengan sehat bahkan bersaing dengan kaum laki-laki.
Tangerang Selatan, 15 Mei 2015.
Sekedar cerita pengalaman naik kereta :D

Kamis, 23 April 2015

Pagi Ini, Sederhana

Pagi ini tidak ada yang istimewa, jika ada yang berbeda itu bukan hal yang sangat luar biasa. Pagi ini terbangun dari tidur dengan mimpi yang campur aduk, saya melakukan rutinitas biasa yaitu memasak. Satu hal lain yang juga dilakukan adalah saya kembali lari untuk pertama kalinya, setelah libur sejak cuti awal bulan ini. Ya, kadang hal tersulit dalam melakukan sesuatu adalah memulai melakukannya. Lalu apa hal termudah adalah berhenti ya? Bagi saya, itu bisa jadi iya, bisa jadi tidak.

Pagi ini sederhana saja, berbahagia. Bahagia karena memasak dan mengusahakan ayah saya terpenuhi kebutuhan makan siangnya di kantor, bahagia karena berlari-lari kecil di tengah pagi buta. Sesudahnya, tidak ada hal yang begitu luar biasa pula pagi ini, saya masih mandi pagi, mengenakan make up seadanya (yang biasanya cuma bertahan hingga jam makan siang), minum satu gelas air mineral, tak lupa menyapa si kucing yang sedang ngantuk-ngantuknya di ruang tamu, kemudian berangkat kerja.


Pagi ini tetap sederhana, menyapa dan mengucap selamat pagi pada setiap staff di kantor yang berpapasan. Tidak ada yang berbeda, meja saya masih penuh dengan kertas, minum segelas air mineral lagi, kemudian menyeduh kopi pagi. Ngomong-ngomong soal kopi, kata Andre Hirata di bukunya "Cinta di Dalam Gelas", semakin pahit kopi yang diminum semakin berliku jalan kehidupan seseorang. Benarkah?

Jika ada yang tidak sederhana, mungkin itu perasaan saya hari ini. Perasaan saya yang begitu sederhana, yang bahagia dengan hal sederhana. Benar rupanya, bahagia itu sederhana. Sesederhana cangkir saya yang sudah kembali terisi kopi siang ini, yang setia menemani saya bekerja dan sekedar menulis di blog.

Sabtu, 18 April 2015

S A H A B A T

Pagi itu saya kembali menyadari bahwa semua bisa begitu sangat sederhana, termasuk soal persahabatan. Ini bukan tentang materi, sekali lagi materi memang menunjang kehidupan kita, tapi ada beberapa hal yang tak bisa dinilai secara materi.

Percayalah, ada begitu banyak sahabat baik di sekeliling kita. Yang tak pernah menilai kita dari materi, sederhana saja mereka (sahabat baik) adalah orang-orang yang ada bahkan saat kita berada di titik terendah. Sahabat baik tidak hanya ada saat kita hangout, bersenang-senang, atau tertawa terbahak-bahak. Seorang sahabat pernah berkata pada saya "Sahabat terbaikmu akan tertawa paling keras saat kamu jatuh, tapi juga akan jadi seseorang yang paling mati-matian mengajakmu untuk kembali bangkit." Benarkah? Saya rasa kalian semua punya deskripsi masing-masing untuk menggambarkan sahabat.

Tapi pagi itu, karena suatu kejadian di bbm saya. Saya begitu menyadari, bahwa sahabat tidak pernah menilai kita dari materi. Hubungan persahabatan adalah sesuatu yang sederhana, sesederhana kopi saya pagi itu yang bersahabat baik dengan pisang goreng, sesederhana bintang yang menemani bulan, pun sesederhana matahari dan bulan yang saling memberi tempat.

Tangerang, 18 April 2015.
Untuk para sahabat yang begitu sederhana.
Sesederhana kopi yang bersahabat baik dengan pisang goreng.

Minggu, 12 April 2015

RINJANI: Lebih dari Sekedar Anjani


Pagi itu 31 Maret 2015 pukul tujuh pagi dengan sisa kantuk semalam, saya sudah duduk di ruang tunggu bandara Soetta. Perjalanan (lagi-lagi) sendiri yang sudah direncanakan kurang lebih sebulan yang lalu. Tujuan saya kali ini adalah Lombok, mendaki gunung Rinjani. Beberapa teman bilang saya gila, perjalanan sendiri. Sebenarnya saya tidak benar-benar berniat mendaki sendiri, selama satu bulan saya sudah beberapa kali menghubungi orang-orang yang berencana mendaki Rinjani awal April. Beberapa diantaranya adalah teman dari teman saya, yang akhirnya saya kenal tapi belum pernah bertemu. Karena adanya selisih jadwal dalam itinerary, maka sebenarnya saya berniat membawa peralatan lengkap hingga akhirnya saya memastikan bahwa beberapa alat bisa share dengan mereka, salah satunya adalah tenda yang pada akhirnya saya tinggal di rumah. Pada hari yang sama, beberapa teman (yang belum pernah bertemu) pun sedang dalam perjalanan pula menuju Lombok via transportasi darat. Mereka adalah Bang Harbon dan Keong (dari Jakarta) serta Mas Ali dan Jhon (dari Jogja).

Menahan kantuk tanpa asupan kafein di ruang tunggu cukup membosankan hingga setelah satu jam di ruang tunggu, handphone saya berdering. Seorang kawan, Edika menelepon karena melihat display picture bbm saya yang tak lain adalah tiket penerbangan CGK-LOP dan serta -merta memutuskan menyusul saya ke Lombok malam harinya bersama seorang temannya yang kemudian saya kenal bernama Djenal. Bocah edan (peace kakak Edi dan bang Djenal :p ) batin saya dalam hati, rencana mereka ke Sumbing pun belok menuju Rinjani.

Tiba di Mataram sendirian, saya menumpang di kontrakan seorang teman, Mbak Yuli (yang saya kenal dari Bang Harbon) yang rela direpotkan oleh seorang saya ditambah Edi dan Djenal yang tiba malam harinya. Seorang teman yang lama tak jumpa mengantar saya belanja logistik, teman yang saya kenal pertama kali di Solo tapi sekarang bekerja di Lombok, namanya Cebret yang katanya sih nama aslinya Okta, hehehe.

Dari sendiri jadi berduabelas. 1 April 2015, siang pukul satu saya, Edika dan Djenal tiba di basecamp Sembalun Rinjani. Menyapa beberapa pendaki yang bertemu sembari menunggu teman-teman yang masih dalam perjalanan via darat. Maka perkiraan saya, tim kami berjumlah tujuh orang. Sampai akhirnya Bang Harbon pun mengirimi saya sms "Kita bareng anak dari Jepara dua orang sama suami istri dan anaknya." Ditambah Mas Joko dan Alvin dari Jepara, Bang Hari dan Mbak Lina serta si kecil Asha berumur tiga tahun dari Cilegon. Jadilah tim pun berjumlah dua belas orang. Pukul lima sore mereka tiba di basecamp, disanalah pertama kali saya mulai mengenal dan menghafal nama mereka satu per satu, sahabat-sahabat baru dalam pendakian Rinjani.

Pendakian dimulai selepas maghrib hingga pos 1 dan kami memutuskan untuk camp semalam disana. Memasak dan mengobrol untuk lebih mengenal satu sama lain. Awal pendakian sudah saya rasakan sangat luar biasa karena kehadiran si kecil yang sangat bersemangat dan ceria. Beristirahat semalam di pos 1 kemudian esok paginya melanjutkan menuju pos 3, hingga akhirnya karena beberapa pertimbangan tim pun berpisah. Harbon, Keong, Bang Hari, Mbak Lina dan Asha bermalam di pos 3 sementara saya dan enam orang laki-laki lainnya melanjutkan perjalanan menuju Plawangan Sembalun.

Ini foto bareng Asha di pos 1, gadis kecil luar biasa yang penuh semangat, yang dengan ikhlas (setengah dipaksa sih) memanggil saya dengan sebutan "kakak" :p

Tiba di Plawangan Sembalun sudah lepas senja, berbagi tugas mendirikan tenda dan memasak, kerja sama yang baik meski hampir seluruhnya baru saling mengenal. 3 April 2015 dini hari sekitar pukul tiga, seluruh personil bersiap menuju puncak Anjani. Jalur Plawangan Sembalun menuju puncak yang sangat "sesuatu" bagi saya, pasir dan curam. Dengan nafas yang sudah tersengal-sengal, belum lagi menahan dingin, saya melawan diri saya sendiri untuk tidak menyerah. Teman-teman yang juga memberi semangat dan tak ragu membantu saya juga merupakan sebuah motivasi yang berharga dalam pendakian. Rupanya menyemangati diri sendiri lebih sulit dibanding menyemangati orang lain. Hingga akhirnya saya mencapai puncak Anjani, bukan karena saya berhasil menaklukkan puncak tetapi saya berhasil menaklukkan diri saya sendiri. Jumat, 3 April 2015 maka saya berdiri di ketinggian 3726 mdpl bersama orang-orang luar biasa yang menemani saya bukan hanya ke puncak Anjani, namun hingga kembali ke Mataram.

Thanks all of you guys, sahabat-sahabat luar biasa meski baru pertama kali ngetrip bareng. :)

Anjani, kami tak pernah menaklukkanmu, tapi kami menaklukkan diri kami sendiri
(Puncak Rinjani, 3 April 2015)
Ki-ka: Mas Alvin,Mas Joko,Saya,Edika,Mas Ali,Mas Jhon,Bang Djenal

Dalam perjalanan menuju puncak, menyapa sesama pendaki adalah hal yang menambah energi positif (setidaknya menurut saya pribadi). Bertemu dengan seorang kawan dari salah satu mapala di Palembang (yang sekretnya dekat dengan sekret mapala saya), juga teman-teman dari Bekasi yang bareng naik ke puncak yang saya kenal dengan nama Bang Ambon dan Mas Aji.




Ki-ka: Edi, Mas Joko, Saya, Mas Aji, dan Bang Ambon.
Sahabat baru bertemu di jalur.
Sederhana saja. Papa, You're my man.
Your little girl at 3726 mdpl. Yippieeee! 

Semua orang di puncak mungkin berpikir "niat banget ni anak bawa toga segala"
Saya sih cuek, wisuda bareng Mickey Mouse di puncak, kapan lagi coba? (tapi itu idung masih ada koyo-nya)
berhubung topinya ketinggal di rumah, topinya Edika pun jadi deh sebagai gantinya.

Sore hari di Plawangan Sembalun kami bertemu kembali dengan Bang Harbon dkk yang sempat berpisah di pos 3 kemarin. Bertemu kembali dengan Asha yang selalu full batere-nya. Dengan berbagai pertimbangan pula, malam itu kami bermalam lagi di Plawangan Sembalun. Menikmati secangkir teh/kopi hangat sehangat obrolan di dalam tenda.

Suasana tenda malam hari seusai muncak, ada yang sibuk minum, lihat-lihat foto, di sudut lain sebelum foto ini diambil ada yang sibuk pijit-pijitan. hahahah.

Sebelum turun ke Segara Anak, foto bareng biar lengkap. (Kurang Bang Keong yang lagi summit)
Plawangan Sembalun, pagi 4 April 2015. Bersantai di hammock setelah SKSD dengan tetangga. :p

Esok paginya 4 April 2015, kami bertujuh menuju danau Segara Anak, bersantai sambil memancing dan tentu saja menikmati kopi di tepi danau dengan pemandangan menakjubkan. Siang itu diadakan pesta besar (baca: menghabiskan logistik) mulai dari nutrijel, pasta, omellet, hingga ikan goreng. Ikan goreng? tunggu dulu, sebelum makan ada kompetisi memancing antar para lelaki itu. Saya juga coba-coba memancing dan mendapat dua ekor ikan kecil tapi jangan dihitung ikut kompetisi ya, karena yang lempar kailnya pun si Edi bukan saya, saya cuma tugas menarik kalau umpan dimakan. Mulailah persaingan sengit memancing diantara para lelaki. And the winner is...... Mas Jhon, dengan satu ekor tangkapan ikan besar yang dipanggang malam harinya. 

Ini Mas Alvin yang lagi seneng dapet ikan. Keliatan banget bahagianya. Haha

Di sisi lain bang Djenal pun akhirnya dapet ikan setelah proses panjang meski tak sepanjang jalur menuju puncak Anjani. heheheh
 Ini kakak Edika yang semangat banget mancing, dia protes karena fotonya belum diupload di blog. :p
Dan.. ini dia man of the match  "fishing competition"  kita, Mas Jhon yang dapet ikan paling gede.

Sore hari, perjalanan dilanjutkan menuju Plawangan Senaru dan bermalam disana ditemani lautan bintang dan gerhana bulan. Meski terasa lelah dan kaki pegal, kami tetap bisa tertawa menikmati makan malam ikan panggang dan sup krim. Naik gunung makan harus tetap bergizi dong, beda rasanya makan ikan panggang di gunung dengan di rumah, rasanya berkali-kali lebih nikmat (lebay).

Minggu pagi 5 April 2015, perjalanan dilanjutkan turun ke Senaru. Kurang lebih hampir empat jam berjalan (saya saja sih mungkin ditambah Mas Ali yang sabar menemani saya turun) dengan kaki yang sudah mulai sulit diajak kompromi, akhirnya saya tiba di gerbang pendakian Senaru. Menyelesaikan apa yang telah dimulai, karena tujuan setiap pendaki adalah pulang dengan selamat.
Di pintu Senaru, kebahagiaan setiap pendaki adalah pulang dengan selamat. :)

Selama pendakian ini berkali-kali saya takjub dengan apa yang saya lihat, saya alami, dan saya rasakan. Pemandangan yang menakjubkan, orang-orang baik yang luar biasa, dan kesederhanaan yang tak ternilai oleh materi. Rinjani, lebih dari sekedar Anjani. Bukan hanya soal menapakkan kaki di ketinggian 3726 mdpl, lebih dari itu, banyak nafas yang kita hembus melepaskan beban, banyak langkah yang kita lakukan hingga menemukan sesuatu yang baru.


Perjalanan adalah tentang melepaskan dan menemukan.
Melepaskan apa yang sepatutnya dilepaskan, yang bisa jadi tidak kita sadari bahwa dengan melepaskan kita bisa menjadi lebih bahagia.
Menemukan hal baru; sahabat baru, kisah baru, juga bagian diri kita yang baru.


Special Thanks to:
1. Allah SWT.
2. My lovely man, Papa.
3. Rekan-rekan pendakian yang luar biasa; Mas Ali & Mas Jhon yang sering back up saya selama perjalanan dan menemani saya kalau saya jalannya lambat, Mas Joko & Mas Alvin yang juga turut memback up dan transfer beberapa bawaan, Edika yang ceriwis dan ramai sehingga perjalanan penuh dengan tawa, Bang Djenal yang pinter banget refleksi kaki meski sakitnya minta ampun.
4. Rekan-rekan pendakian yang juga luar biasa meski bareng hanya sampai pos 3; Bang Harbon dan Bang Keong yang juga sangat membantu, Bang Hari & Mbak Lina serta si kecil Asha-keluarga hebat yang memperkenalkan alam sedini mungkin pada anaknya.
5. Bang Ambon yang udah ngasih kertas buat bikin tulisan di puncak, juga Mas Aji yang mau dimintain tolong buat foto.
6. Pendaki yang minjemin boneka Mickey Mouse-nya, minjemmin hammock, dan yang ramah menyapa atau disapa saya.
7. Mbak Nefri & Mbak Airin yang sudah banyak kasih info.
8. Mbak Yuli yang udah kasih tumpangan sebelum berangkat ke Rinjani.
9. Bang Faiz dkk yang juga kasih tumpangan para gembel yang baru turun dari Rinjani, thanks buat asupan kopinya setiap hari. Hahahaha
10. Cebret/Okta yang akhirnya ngerjain saya di hari terakhir di Lombok demi Goa Kotak dan Batu Payung.
11. Bos saya, yang acc cuti saya. Teman-teman yang minjemin alat. Dan semua yang secara langsung maupun tidak telah turut andil dalam perjalanan saya kali ini.