Minggu, 01 November 2015

JOGJA LENGKAP DENGAN SECANGKIR KOPI

Judul di atas bukan mengartikan bahwa segala tentang Jogja ada dalam secangkir kopi, ini hanya sepenggal cerita perjalanan (kembali) ke Jogja yang buat saya terasa lengkap dengan secangkir kopi. :)

Selalu ada alasan untuk kembali ke Jogja. Bagi saya Jogja lebih dari sekedar Malioboro atau Tugu, ada berjuta kepingan kenangan yang tertinggal pada setiap sudutnya (agak berlebihan sih). Sempat tinggal hampir tiga tahun di kota gudeg tersebut, membuat saya selalu punya alasan untuk ingin kembali kesana. Oktober 2015 akhirnya saya kembali berkunjung ke Jogja setelah satu tahun meninggalkan kota itu.

Kamis malam 22 Oktober 2015 saya berangkat menuju Jogja dengan kereta ekonomi Progo yang tiketnya sudah dipesan jauh-jauh hari. Tiket yang cukup sulit didapat untuk keberangkatan pada weekend, apalagi kereta Progo berangkat paling malam sangat cocok untuk para pegawai seperti saya ini yang ingin berlibur tanpa harus mengambil cuti banyak.

Jumat pagi saya tiba di stasiun Lempuyangan, menatap pemandangan yang sudah tidak saya lihat setahun lamanya. Jogjakarta dengan semua isinya seolah membawa saya kembali pada semua kenangan lalu. Jangan harap itinerary saya selama tiga hari dua malam di Jogja akan penuh dengan berbagai destinasi wisata. Perjalanan saya kali ini hanya ada dua agenda wajib: Ngopi dan Camping di pantai. Sudah begitu saja, tidak ada dalam list saya untuk berbelanja ke Malioboro.

Jumat pagi sempurna dengan Kopi Merapi tanpa gula

Teman-teman dari MPA Cakrawala menjemput saya di Lempuyangan, Mengantar saya ke tempat seorang kawan yang sudah janji menyuguhkan kopi khas dari Merapi. Agenda wajib pertama saya sudah terpenuhi. Kopi Merapi tanpa gula yang pahit dan sedikit gosong saat penyangraiannya (begitulah kata teman saya). Selepas maghrib kami berangkat ke sebuah pantai di daerah Panggang, Gunung Kidul yang menurut mereka masih sangat sepi pengunjung. Jujur saja, target saya sebenarnya adalah melihat sunset terbaik di tepi pantai, tapi tak apa rupanya kali ini saya lebih membutuhkan ketenangan dibandingkan keindahan sunset. Perjalanan menuju pantai kurang lebih sekitar 2jam lebih dekat dibandingkan harus ke pantai Siung, salah satu pantai favorite saya.

Jam sembilan malam, kami sudah berada di tepi pantai yang ternyata memnag benar-benar sepi dan tenang, Hanya ada tiga tenda disana, dua adalah tenda kami berenam dan satunya milik pengunjung lain. Seusai makan malam yang terlambat, kami sibuk mengobrol sembari ngopi (dua agenda penting saya terlaksana sekaligus dalam saat bersamaan). Beberapa dari kami sibuk mencari kerang atau umang-umang, mengumpulkannya di dalam nesting yang menghasilkan irama khas bercampur suara debur ombak yang deras. Tenang dan sepi, jauh dari kebisingan kota.



Menjelang tengah malam satu per satu mulai berguguran menuju alam mimpi masing-masing, tinggal saya dan seorang teman yang masih sibuk dengan unggun yang dijaganya agar tetap menyala hingga subuh menjelang. Mengobrol sembari rebahan di atas hammock hingga pukul setengah lima pagi. Tidur selama satu jam cukup bagi saya untuk melihat keindahan pantai pagi hari, sunrise? di pantai ini rupanya kita harus mendaki bukit dulu untuk melihat matahari terbit dan sayangnya saya kesiangan untuk itu. Jadi saya harus cukup puas melihat matahari yang sudah menyembul dari balik bukit pada pukul enam pagi.

Pagi itu saya hanya ingin jadi pengamat, memantau pantai sepi dengan ombak yang deras. Hanya sekedar menikmati sisa unggun semalam yang sudah padam. Semua sederhana saja, saya hanya perlu sejenak menepi.

Traveling itu bukan sekedar tempat tujuan. Ini tentang proses perjalanan. Melihat dan belajar memahami banyak hal, ada begitu banyak hal sederhana yang indah. Perjalanan adalah tentang melepaskan dan menemukan.
Terima kasih teman-teman :)

Malam harinya kami sudah kembali ke Jogja menikmati kopi klotok di selokan mataram seberang fakultas peternakan UGM. Tempat dulu saya sering bertemu dengan kawan saya yang sekarang sedang di Papua bersama suaminya. Sayangnya kali ini saya kecewa dengan kopi susunya yang menurut saya terlalu encer dan tidak ada rasa khasnya, yah memang yang enak dan khas adalah kopi klotoknya.



Sebenarnya masih banya kedai kopi yang ingin saya kunjungi, kedai-kedai kopi dimana dulu saya menghabiskan malam-malam saya selama tinggal di Jogja. Sayangnya waktu berlibur yang singkat membuat saya tak sempat mengunjungi Blandongan Kopi, Mato Kopi, ataupun Secangkir Jawa. Semoga perjalanan lain waktu sempat kembali ke Jogja dan menikmati Jogja dalam secangkir kopi.

Bagi saya, Jogja lengkap dengan secangkir kopi. Sederhana saja bagi saya kadang traveling tak melulu tentang foto selfie di berbagai tempat wisata, yang ingin saya lakukan adalah menikmati perjalanan itu sendiri, bagaimanapun caranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar