Senin, 14 September 2015

Ketika Cinta Terpaksa Mengalah

Katanya cinta itu kemurnian mengasihi dan menyayangi seseorang. Cinta itu kekuatan. Tapi apa jadinya saat cinta mengalah pada materi, jabatan, ataupun harga diri?
Saat itu mungkin cinta berubah menjelma jadi ketulusan untuk tidak pernah memiliki, atau berubah menjadi luka yang bersemayam dalam lubuk hati paling dasar.



Ani.
Namanya Ani. Saat itu masih duduk di kelas empat pendidikan Sekolah Dasar, usianya belum ada sepuluh tahun. Tinggal di sebuah gubuk dari rotan di pinggiran kota. Kulitnya hitam, mungkin akibat berjemur membantu ibunya mengurus kebun yang bukan milik mereka. Di sekolah hampir seluruh teman sekelasnya memandangnya dengan mengernyit. Tak ada yang mengajaknya main, kecuali dua orang gadis sebayanya yang akhirnya diajaknya berkunjung ke gubuknya yang masih beralaskan tanah merah. Dua gadis yang tak segan meminum teh tawar bubuk yang bahkan tak disaring.

Tak ada anak lelaki di kelasnya yang menyadari senyumnya yang manis, bermain puteri-puteri-an dengan dua temannya itu. Tapi bagi Ani, punya dua orang teman sudah lebih cukup meski tidak sampai setahun. Menginjak kelas lima, Ani berhenti sekolah. Ani akan menikah, tuan tanah pemilik kebun hendak memperistrinya. Laki-laki dewasa yang mungkin lebih pantas dipanggilnya "Bapak" menjadi suaminya. Atas dasar keadaan ekonomi keluarga dan ketidakberdayaan, Ani sepakat menjadi istri di usianya yang masih sepuluh tahun. Ani tak punya pilihan

Tegar.
Bekerja sebagai manajer senior di sebuah perusahaan telekomunikasi ternama, tak menjamin perjalanan cinta Tegar setegar namanya. Hampir ia mempersunting seorang gadis yang ia cintai. Meski pada akhirnya ia harus merelakannya pergi. Membiarkan hatinya terluka, pun dengan hati Indah, perempuan yang dicintainya. Orang tua Tegar tak merestui rencana pernikahan mereka, Tegar dijodohkan. Demi jabatan dan karir, serta hutang budi keluarga mereka pada keluarga komisaris utama tempat Tegar bekerja.

Bukannya Tegar tak punya pilihan, tapi ia begitu takut untuk berani memilih resiko. Setidaknya itulah anggapan Indah, yang selama satu bulan meratapi hubungannya yang kandas begitu saja karena perjanjian yang mengatasnamakan jabatan dan materi. Perasaan cinta rupanya dapat berbalik menjadi benci yang mendalam. Benci karena merasa tak diperjuangkan.Meski pada akhirnya baik Tegar ataupun Indah merelakan untuk saling melepaskan.

Wina.
Dua puluh tujuh tahun. Di usia yang perlahan semakin mendekati tiga puluh, Wina kerap kali jadi sasaran pertanyaan "kapan nikah?". Bukannya tak ingin atau terlalu berambisi mengejar karir, tapi Wina tak pernah memberi kesempatan pada dirinya sendiri. Berkali mencoba sebelumnya dan selalu gagal membuatnya sulit untuk percaya bahwa ia siap untuk jatuh cinta lagi.

Dua tahun lalu, terakhir kali disandarkan hatinya pada lelaki yang rupanya mampu mencintai beberapa perempuan sekaligus. Hal yang mungkin bisa diterima sebagian kecil kaum perempuan dan Wina tidak termasuk golongan itu. Hatinya hanya mampu mencintai satu lelaki dan tidak cukup berbesar hati untuk menerima adanya perempuan lain dan pada akhirnya mengakhiri hubungan cintanya. Memaafkan adalah perkara mudah, toh akhirnya Wina mampu kembali bangkit setelah patah, mampu melepaskan dan menerima bahwa lelaki itu tak pantas untuknya. Tapi melupakan adalah hal sulit untuknya, ditutupnya hati dan dikuburnya kenangan itu pada ruang yang disebut luka. Wina selalu punya pilihan, namun ia tak pernah memilih apapun, bahkan untuk memberi kesempatan pada dirinya sendiri. Sampai saat ini pun, Wina selalu punya pilihan.

Kamis, 10 September 2015

KOPI DAN SENJA

Jatuh cinta itu perkara mudah, tapi bisa menjadi sulit.
Ketika kita tak pernah benar-benar siap untuk patah.


Tidak terhitung detik kita habiskan bersama, tertawa atau sekedar saling duduk berdiam bersebelahan.  Ada begitu banyak waktu yang kita lalui, siang atau malam, fajar juga senja. Kita tak pernah mampu menghitung setiap tawa yang kita cipta bersama. Tak sanggup pula meruntun, berapa banyak lelahku yang terbenam pada bahumu, juga seberapa besar nyaman yang kau temukan saat mendekapku.

Ada banyak hal yang kita sepakati, pun hal yang tidak kita sepakati. Hal-hal yang kemudian kerap kali kita bicarakan dengan cangkir-cangkir kopi yang masih mengepul, hangat. Berlomba dengan kepulan asap dari rokok yang kita bakar. Kopi hitam yang selalu ada diantara kita, pahit. Begitu banyak yang saling kita sukai, meski kita tak pernah paham perbedaan antara menyukai dan mencintai. Tapi kita sepakat untuk tidak saling jatuh cinta, kita tahu pasti kita tak pernah siap untuk itu, kita belum siap untuk patah. Kita belum mampu mencintai selain kopi dan senja.



Lalu bagaimana jadinya jika kita pada akhirnya melanggar kesepakatan, sementara kita tahu kita tak pernah siap untuk itu?

KOPI DAN TEH



"Kopi itu seperti dia, selalu bikin rindu. Tapi sulit bagi saya untuk kembali padanya." Ujarnya sambil menyeduh teh. Saya seketika menoleh, mengerutkan kening menuntut penjelasannya lebih lanjut. Sahabat saya tetap asik menyeduh teh, yang sudah menggantikan kopinya selama satu bulan ini. 

"Aromanya kuat, saya rindu. Sebesar rindu saya pada dia." lanjutnya, melirik cangkir saya yang berisi kopi. Sedikit tergoda namun tetap bertahan untuk tidak meminum kopi, meski saya tahu keinginannya sangat besar.

"Bagaimana perasaanmu setelah kamu mengganti kopi dengan teh?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir saya, mengingat sosoknya adalah seorang penikmat kopi. Setidaknya sampai satu bulan yang lalu. Sebelum akhirnya sesuatu membuatnya memutuskan beralih pada teh.

"Entahlah, mungkin saya hanya perlu terbiasa, seperti saya harus tidak bersamanya meski perasaan saya tetap sama. Tapi saya merindukannya, kopi dan dia." Jawabnya sambil meminum tehnya perlahan. Menghirup aromanya kemudian menghela, saya tahu ada yang tak pernah lepas dari setiap helaannya. Sesuatu yang membuat hatinya begitu lelah.

"Sudahlah. Sampai kapan kamu tidak berhenti mengingatnya. Tinggalkan ia di belakang, kamu berhak atas kebahagiaanmu sendiri. Ayolah." Akhirnya saya berucap setelah paham bahwa pembicaraan ini bukan sekedar tentang kopi atau teh, tapi juga tentang masa lalunya yang belum mampu dia lepaskan.

"Tidakkah kamu berpikir bahwa kita sama? Kita sama lelahnya, kita sama tak pernah paham tentang perkara hati dan perasaan. Hanya saja sekarang saya memilih teh meski saya juga mencintai kopi, karena suatu alasan dan saya yakin kamu tahu itu." Panjang dia memburu saya dengan pertanyaan dan pernyataannya. Setengah menuntut saya untuk bercerita.

"Bicaramu aneh. Minum saja tehmu." Kata saya kemudian meninggalkannya bersama cangkir tehnya.

September 2015
Untuk sahabat saya yang sedang belajar terbiasa dengan teh.

Rabu, 02 September 2015

Jika Jalan Kita Tak Lagi Searah



Jika memang pada akhirnya jalan kita tak lagi searah, suatu hari nanti kita akan baik-baik saja

Kita pernah berjalan beriringan, melangkah seirama menuju tujuan yang sama. Padamu kusandarkan segala letih, kumusnahkan segala resah. Padaku kau genggam impian, harapan yang kau jaga untuk tumbuh menjadi nyata. Selalu ku minta jangan lepaskan aku, meski berkali aku gamang mengikuti langkahmu. Kau genggam tanganku erat takut terlepas.

Jalan yang kita lalui panjang, terlambat kembali karena sudah terlampau jauh. Jalan yang tak pernah kita tahu akan sulit sebelumnya. Berkali kita tak lagi saling bersandar atau menggenggam, sendiri berusaha membunuh lelah dan harapan. Kita pernah lelah dengan semua ini meski tetap mampu seirama. Lelah yang pada akhirnya memuncak, memaksa kita melepas. Saat itulah kita tahu arti melepaskan.

Jika pada akhirnya kita tak lagi bersama, kau tetap akan ada sebagai kenangan. Kenangan yang tersimpan rapi sebagai masa lalu. Kita mungkin akan saling menjauh untuk mengerti bahwa perlu ada jarak. Tapi jika memang pada akhirnya jalan kita tak lagi searah, suatu hari nanti kita akan baik-baik saja. Suatu hari nanti kita akan siap dengan perasaan yang tak lagi sama.