Selasa, 21 Juni 2016

BEKAS LIPSTIK PADA CANGKIR KOPI


Membekas, lipstikmu mendarat pada cangkir kopi yang berwarna putih. Matamu masih sama, hangat seperti secangkir kopi yang masih mengepul.

"Rokok?" kataku menawarkan. Kamu tersenyum menggeleng. "Jadi apa kesibukanmu sekarang?" lanjutku mengajakmu bicara.
"Masih sama, sibuk memikirkan kamu." guraumu.
"Hahaha, aku serius bertanya dan jawabanmu selalu bergurau." aku mulai memprotes.
Kamu tertawa lagi, lalu menyeruput kopi.  

Ah, kamu tak berubah banyak. Wajah, tatapanmu, dan caramu meminum kopi. Semua hampir persis sama seperti dulu. Aku pikir kita tak akan sesantai ini lagi, rupanya kita masih bisa menikmati kopi bersama dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Aku sendiri berpikir bagaimana bisa kita seperti ini, setelah lipstikmu membekas pada bibirku malam itu. Kesalahan kah atau memang tak ada arti apa pun bagimu?

"Kamu sendiri bagaimana?" tanyamu membuyarkan lamunan.
"Tak banyak berubah, sibuk mencari kesibukan agar tak punya waktu memikirkanmu." balasku setengah bergurau.
Kamu tertawa tak bisa membalas. Skakmat kataku.

Aku tetap sibuk bertanya-tanya, bagaimana bisa kita bersikap biasa setelah malam itu? Rupanya tanpa sadar kita telah saling melukai. Kita mungkin adalah orang yang dipertemukan oleh kesepian, kita mungkin adalah manusia yang bertemu pada persimpangan pelarian. Dan itu tak cukup untuk mengajak kita saling menyembuhkan.

"Yang tersisa, yang tersisa dari kita adalah kenangan, sedikit luka. Waktu mungkin tak akan menghilangkan kenangan atau menyembuhkan luka. Yang perlu kita lakukan adalah berdamai. Biarkan apa yang tersisa seperti bagaimana ia seharusnya, biarkan ampas kopi tersisa mengendap pada dasar cangkir."