Kamis, 09 Juli 2015

A Y A H

Tidak perlu menunggu 12 November dimana Hari Ayah diperingati secara nasional untuk menulis tulisan ini. Tulisan yang secara rima mungkin berantakan, tulisan yang awalnya ragu untuk memulai dari kata yang mana. Percayalah, bahkan tulisan ini sepanjang apapun nantinya tetap tidak bisa menjelaskan semua tentang sosok yang saya sebut AYAH.

Baiklah, dua puluh lima tahun lalu bisa jadi saya adalah bayi berwarna merah yang merepotkan Ayah. Menangis karena ngompol atau meminta ditimang tak peduli meski ia baru saja pulang kerja. Serepot apapun Beliau, saya yakin saya pula yang menjadi sumber kebahagiaannya saat itu. Saya tumbuh menjadi gadis yang merepotkan, Ayah harus bekerja keras untuk membelikan segala keinginan saya yang saat itu belum mengerti keadaan finansial Ayah saat itu

Saya tumbuh menjadi kanak-kanak dan remaja, saat saya duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) pertama kalinya saya mengalami yang juga dialami remaja perempuan lainnya, haid/menstruasi. Saat itu saya sadar ada yang berubah dalam diri saya, saya adalah gadis yang beranjak dewasa. Tidak seperti yang lain yang mendapatkan ceramah tentang haid dari Ibu, saya sendirian belajar memahami menagpa seorang perempuan mengalami haid. Mungkin Ayah terlalu canggung untuk menjelaskan pada saya, bagaimana proses sel telur yang tidak dibuahi meluruh menjadi darah. Katanya seorang anak cenderung lebih dekat dengan Ibu, tapi tidak bagi saya yang mungkin tak punya pilihan lain. Tapi bagaimanapun juga, sedekat apapun anak gadis dengan Ayah tetap ada jarak, jarak yang mesra menurut saya.

Saya terus tumbuh menapaki tangga-tangga usia yang bisa dibilang tidak lagi remaja, saya adalah gadis dewasa yang selalu harus belajar mendewasakan diri. Tapi bagi Ayah, saya tetap gadis kecilnya, gadis yang perlu dikhawatirkan, dijaga, dan dilindungi. Seringkali saya dapati Ayah belum tidur ketika saya belum pulang, kadang pesan singkat yang saya kirimkan sekedar memberi kabar sudah lebih dari cukup bagi Ayah. Ayah tidak akan banyak bertanya ketika saya pulang kerja lebih malam dan memilih segera masuk ke kamar, tapi Ayah akan sekedar menyusul saya menanyakan apa saya sudah makan atau belum. Saat itu kadang saya merasa sangat bersalah, sambil berkata dalam hati "Maaf Ayah, saya sangat lelah untuk bicara pada siapapun." dan Ayah mengerti dengan segera keluar dari kamar saya, membiarkan saya tenggelam dalam ruang privasi saya.

Ayah (mungkin) memang tak sebawel Ibu, tapi saya yakin bahwa ia menyimpan begitu banyak kekhawatiran saat saya pergi dari rumah untuk melakukan kegiatan alam bebas yang sudah saya lakukan sejak SMA. Pernah suatu ketika, saat saya mengambil cuti dan pergi untuk mendaki gunung di luar Jawa, subuh buta Ayah dengan ikhlas mengantar saya menuju travel. Tidak hanya itu, ia bahkan setengah memaksa untuk mengangkatkan carrier, yang kemudian saya tolak dengan berkata "Saya bisa melakukannya Ayah, tak usah khawatir.", mungkin saat itu Ayah berpikir bagaimana gadisnya akan membawa beban seberat itu, meski di sisi lain hatinya ia tahu gadisnya akan mampu melewati segala kesulitan.

Dalam jarak, saya juga yakin bahwa selalu ada doa Ayah untuk saya. Doa semoga saya menyelesaikan studi saya dengan baik, mendapat pekerjaan yang baik, dan segala hal baik lainnya untuk saya. Ayah tidak akan menolak ketika saya merengek minta es krim, bahkan di usia saya dua puluh lima tahun. Tapi Ayah tahu, saya sudah memilih untuk selalu belajar mandiri. Saya bukan lagi gadis kecil yang merengek, saya sudah belajar untuk mendapatkan sesuatu dengan perjuangan. Dibalik sikap Ayah yang memanjakan saya saat kecil, selama saya tumbuh Ayah tak lupa mengajarkan saya untuk berjuang jika ingin mendapatkan sesuatu. Ayah tahu saya tumbuh menjadi perempuan keras namun tetap memiliki kelembutan yang perlu dijaga. Ayah tahu saya bukan lagi gadis yang akan menangis di depannya, mengeluhkan segala permasalahan saya. Ya, gadis kecil Ayah telah memilih untuk mandiri, dan Ayah menghargai itu.

Untuk Ayah, yang tak pernah cukup kata-kata saya tuliskan.
Tangerang, Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar