Rabu, 30 November 2011

Mencari "Aku"

Aku mencari, aku meraba, menyisir setiap pandanganku kepada tiap sudut dalam rumah itu. Mulai dari membuka pagarnya melihat halamannya yang kini setengahnya telah bersemen mematikan mawar-mawar dulu yang tertata rapi berjejer dalam pot-pot mereka, disana tak ku temukan “Aku”, lalu masuk ke dalam ruang tamu,berharap menemukan “Aku” namun nihil, yang terlihat adalah furniture kursi kayu dan kerang-kerang yang tertata dalam meja kaca. Lalu aku berjalan makin ke dalam, melewati sofa empuk berwarna hijau lumut yang berseberangan dengan sebuah televisi layar datar, bukan televisi kecil zaman dulu, melihat lukisan-lukisan di dinding yang tentu saja bukan aku si pelukisnya. Langkahku makin menyeruak semakin ke dalam menuju ruang makan dan dapur yang tertata sangat rapi, kitchen set modern seperti di tayangan televisi juga seperangkat meja makan dan empat buah kursinya yang lagi-lagi dari kayu, bukan kursi kuliahan seperti yang kami pakai dulu untuk menyantap hidangan di atas meja reot dengan tambalan kertas di kakinya, di sana pun tak ku temukan apa yang aku cari. Perlahan kemudian aku titi tangga kayu yang mengeluarkan bunyi ketika dipijak, menuju lantai atas yang dibangun dua belas tahun lalu, menuju sebuah kamar berharap disana akan aku temukan sedikit saja “Aku” menemukan sebuah peraduan dimana “Aku” dapat terlelap dengan nyaman, atau sekedar menemukan lemari bututku yang berisi barang-barang penuh kenangan, dan aku hanya kecewa ketika tak satu pun aku temukan. Aku mulai meluruh pada ketidaknyamanan, mulai ingin memaki pada ruang yang terasa asing kini, namun aku hanya diam seribu bahasa, seperti alien yang tak mengerti bahasa manusia. Seolah tak ada suatu keberadaan yang aku temukan dalam rumah itu. Lalu tiba-tiba aku teringat pada suatu sudut kecil, sudut yang berada di awal, seketika aku berlari turun menuju pintu depan, ya ruang tamu! Seharusnya dari awal aku memperhatikan sudut itu, sebuah sudut yang pasti terlihat oleh banyak orang, sudut yang diapit dua kursi kayu, sebuah meja kayu kecil menopang bingkai foto, di sanalah dengan cepat dapat ku temukan jawaban dari pencarian “Aku”, di sana di sudut tempat orang-orang menemukan KEBERADAAN, sementara aku menemukan “KETIADAAN”.

Jumat, 25 November 2011

Menjadi Seorang Wanita, Istri, dan Ibu. (sebuah debat tentang tiga peranan)

Menjadi Seorang Wanita, Istri, dan Ibu. (sebuah debat tentang tiga peranan)

berdebat soal wanita dan hakikatnya sebagai istri, seorang pria mengatakan "wanita CUKUP menjadi seorang IBU RUMAH TANGGA"

apa iya wanita tidak boleh berkarir dalam pekerjaan?

bukankah kehidupan selalu demokratis dan fleksibel, menerima sesuatu dalam kewajaran. apa salah jika seorang wanita/istri/ibu juga merintis karir di samping tanggung jawabnya sebagai Ibu Rumah Tangga, tanpa melalaikan kodrat... dan tanggung jawabnya sebagai seorang Ibu Rumah Tangga?

seseorang juga pernah mengatakan bahwa "seorang pria memiliki istri lebih satu tidak masalah, namun seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu" atau pernah juga berkata "pria berselingkuh itu biasa tapi tidak untuk wanita"

apa pemikiran seperti itu adil? bagaimanapun juga meski dalam Al-Qur'an disebutkan poligami adalah halal bagi seorang pria (dengan catatan ia dapat berlaku adil), namun wanita juga memiliki hak untuk menentukan apakah ia mau untuk berbagi suami? lalu kenapa seakan-akan sebagian pria menganggap bahwa hal itu biasa dan seolah-olah "menindas".

saya TIDAK bicara soal EMANSIPASI wanita, karena pada hakikatnya PRIA dan WANITA memang BERBEDA, hanya saja wanita juga memiliki hak-haknya di samping memenuhi kewajiban-kewajiban mereka sebagai seorang wanita/istri/ibu bagi dirinya, suaminya, dan anak-anaknya.

(Sartika Noriza, 22 November 2011)

Senin, 21 November 2011

Disana Kutemukan Aku


disana,

kutemukan Aku.

pada terik mentari yang mencoklatkan kulitku.

pada hujan yang turun rintik kala senja,

menjadikannya berkabut menjemput malam.

disana,

kutemukan Aku.

saat malam bisu bercumbu dengan angin yang dingin.

saat gelap mulai meraja, dan cahaya lampu padam.


disana,

kutemukan Aku.

pada fajar yang tetap dingin,

saat embun bagai mutiara di ujung daun.

ketika awan bagai kapas di bawah mata.

ya, disana kutemukan Aku.

meski sejenak, tapi sebenar-benarnya Aku.

tanpa harus menjadi yang lain.

(Gunung Lawu, 11-12 November 2011)

Senin, 31 Oktober 2011

Seperti Sore yang Kehilangan Senjanya



Sudut itu seperti candu, merindu lalu pilu.

Mencandu lebih dari kafein atau tembakau.

Aku benci kembali mencandu, menyinggahi pelabuhan ini.

Setelah terombang-ambing di atas laut,

Menemukan sudut yang kadang nyaman namun aku benci.

Karena dibalik lembutnya, sudut itu tajam, Perih!

Penghujung Oktober setelah kemarau yang teramat panjang,

Hujan lalu datang sebelum senja, memudarkan jingganya.

Menanti senja pun menjadi sangat perih seperti warnanya.

Aku kehilangan diriku, dalam hujan. Seperti sore yang kehilangan senjanya.

(Menatap langit senja yang tak jingga, dan memang senja selalu dalam warna yang berbeda)

Jogjakarta, akhir Oktober 2011

Selasa, 18 Oktober 2011

Malioboro Dipadati Ribuan Warga






Malioboro Dipadati Ribuan Warga

Yogyakarta, 18 Oktober 2011. Jalan Malioboro dipadati warga yang ingin menyaksikan rangkaian prosesi pernikahan putri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Bendara dengan Achmad Ubaidillah atau Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara. Pernikahan yang diadakan pada Selasa, 18 oktober 2011 juga dirayakan oleh rakyat dalam Pesta Rakyat yang diselenggarakan di Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Jalan Malioboro. Warga Yogyakarta memadati Malioboro, jalan menuju Malioboro dialihkan dan terjadi kemacetan yang luar biasa, namun hal itu tidak menyurutkan keinginan mereka untuk menyaksikan prosesi pernikahan Putri Sultan yang akan diarak melewati Jalan Malioboro, bahkan warga yang menggunakan kendaraan rela bersusah-payah mencari tempat parkir dan jauh dari lokasi Malioboro. Sebagian warga bahkan dengan nekat memanjat dinding bangunan demi menyaksikan peristiwa penting tersebut. Sejumlah angkringan disediakan secara cuma-cuma dalam Pesta Rakyat ini, warga dapat menikmati makanan dan minuman secara gratis, selain itu juga digelar panggung hiburan yang terletak di Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949, Pesta Rakyat yang digelar hari Selasa, 18 Oktober 2011 dihadiri oleh ribuan warga. Inilah Pesta Rakyat Mangayubagyo Temanten GKR Bendara dan KPH Yudanegara.

( Sartika Noriza - Malioboro, 18 Oktober 2011)

Pesta Rakyat



Penuh dan berdesakan.

masyarakat turun ke jalan.

naik ke atap-atap gedung.

satu hari ini saja.

mereka ingin melihat sejarah.

menjadi saksi hidup sebuah peristiwa.

satu hari ini saja.

rakyat berpesta bersama.

merayakan kebahagian kerajaan.

kereta kencana lewat dengan anggun.

jajaran kerajaan, para menteri dan orang-orang penting lainnya.

jalanan ditutup.

macet disana-sini.

tapi rakyat tetap berpesta.

berbahagialan sang mempelai beserta keluarga.

beruntunglah para tukang parkir yang mendadak kaya.

kasihan bagi mereka,

para tukang sapu yang bertambah pekerjaannya.

nikmatilah!

Pesta Rakyat Mangayubagyo Temanten GKR Bendara dan KPH Yudanegara.

(Malioboro, 18 Oktober 2011)

Senin, 10 Oktober 2011

Seorang Gila

Seorang Gila
Di pinggir jalan ia jongkok termenung.
Di tepi terik sinar mentari siang terhalau atap ruko.
Rambutnya mekar karena tak pernah dibelai sisir.
Kulitnya coklat karena tak pernah dicumbu air.
Orang-orang menyebutnya si gila.
Para wanita akan menjerit jika ia mendekat,
Lalu lari terbirit-birit.
Bocah-bocah akan meneriakinya,
Mengolok rupa dan kehidupannya.
Ia gila.
Ya, dialah Si Gila.
Hidupnya di jalan, makanya dari tong sampah.
Ia memang gila, tapi lebih arif dari Si Serakah.
Ia mungkin bahkan lupa kapan terakhir kali mandi.
Tapi ia lebih harum dari koruptor mata duitan pengejar materi.
Ia memang gila, kita akan lari jika ia menghampiri.
Ia lebih menakutkan daripada hukum yang bisa dimanipulasi.
Seorang gila, hidup di jalanan.
Seorang gila, sederhana dalam hidup yang dirutuki orang.

(terinspirasi ketika melewati Glagahsari, Siang Hari 10 Oktober 2011)

Selasa, 04 Oktober 2011

Mencari "Aku"


Mencari ”Aku”


Aku mencari, aku meraba, menyisir setiap pandanganku kepada tiap sudut dalam rumah itu. Mulai dari membuka pagarnya melihat halamannya yang kini setengahnya telah bersemen mematikan mawar-mawar dulu yang tertata rapi berjejer dalam pot-pot mereka, disana tak ku temukan “Aku”, lalu masuk ke dalam ruang tamu,berharap menemukan “Aku” namun nihil, yang terlihat adalah furniture kursi kayu dan kerang-kerang yang tertata dalam meja kaca. Lalu aku berjalan makin ke dalam, melewati sofa empuk berwarna hijau lumut yang berseberangan dengan sebuah televisi layar datar, bukan televisi kecil zaman dulu, melihat lukisan-lukisan di dinding yang tentu saja bukan aku si pelukisnya. Langkahku makin menyeruak semakin ke dalam menuju ruang makan dan dapur yang tertata sangat rapi, kitchen set modern seperti di tayangan televisi juga seperangkat meja makan dan empat buah kursinya yang lagi-lagi dari kayu, bukan kursi kuliahan seperti yang kami pakai dulu untuk menyantap hidangan di atas meja reot dengan tambalan kertas di kakinya, di sana pun tak ku temukan apa yang aku cari. Perlahan kemudian aku titi tangga kayu yang mengeluarkan bunyi ketika dipijak, menuju lantai atas yang dibangun dua belas tahun lalu, menuju sebuah kamar berharap disana akan aku temukan sedikit saja “Aku” menemukan sebuah peraduan dimana “Aku” dapat terlelap dengan nyaman, atau sekedar menemukan lemari bututku yang berisi barang-barang penuh kenangan, dan aku hanya kecewa ketika tak satu pun aku temukan. Aku mulai meluruh pada ketidaknyamanan, mulai ingin memaki pada ruang yang terasa asing kini, namun aku hanya diam seribu bahasa, seperti alien yang tak mengerti bahasa manusia. Seolah tak ada suatu keberadaan yang aku temukan dalam rumah itu. Lalu tiba-tiba aku teringat pada suatu sudut kecil, sudut yang berada di awal, seketika aku berlari turun menuju pintu depan, ya ruang tamu! Seharusnya dari awal aku memperhatikan sudut itu, sebuah sudut yang pasti terlihat oleh banyak orang, sudut yang diapit dua kursi kayu, sebuah meja kayu kecil menopang bingkai foto, di sanalah dengan cepat dapat ku temukan jawaban dari pencarian “Aku”, di sana di sudut tempat orang-orang menemukan KEBERADAAN, sementara aku menemukan “KETIADAAN”.

Minggu, 12 Juni 2011

gunung kerinci (a journey Palembang-Mt. Kerinci, Desember 2009)

gunung kerinci setinggi 3805 mdpl, terletak antara Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Sulak Duras, Provinsi Jambi.

untuk mencapai kaki gunung kerinci dari kota Palembang dapat ditempuh melalui dua jalur.

yang pertama, via Lubuk Linggau-Muaro Bungo-Sungai Penuh.

yang kedua, via kota Jambi-Sungai Penuh.

perjalanan waktu itu saya tempuh melalui jalur Lubuk Linggau,

hal itu dikarenakan ongkos termasuk relatif lebih murah. (tapi mungkin sekarang tidak begitu jauh dengan melalui Jambi)

berikut ini rincian jalur perjalanan beserta biaya menuju kaki gunung kerinci via Lubuk Linggau.

St. Kertapati Palembang-St. Lubuk Linggau Rp 15.000 (Kereta Api Ekonomi Serelo)

St. Lubuk Linggau-Simpang Polantas Jalan Lintas Sumatera Rp 3.000 (Angkot)

Simpang Polantas-Bangko Rp 30.000 (bis jurusan Jakarta-Padang, atau bis lainnya yang melewati Bangko, nyetop di jalan dan negosiasi ongkos langsung dengan kenek bis)

Bangko-Sungai Penuh Rp 30.000 (bis)

Sungai Penuh-Bedeng8 Kayu Aro Rp 10.000 (angkot elf)

Bedeng8 Kayu Aro-Pintu Rimba Gunung Kerinci Rp 7.000 (nyarter angkot)

ongkos menuju kaki gunung kerinci dari kota Palembang kurang lebih Rp 95.000.

sedangkan untuk perjalanan via Jambi dari Palembang dapat menggunakan bis ekonomi jurusan Palembang-Jambi,

ongkosnya Rp 70.000, naik dari km 9 Palembang.

atau Palembang-Jambi juga dapat ditempuh menggunakan travel yang katanya ongkosnya sekitar Rp 120.000.

menurut informasi, saat ini jalan lintas Palembang-Jambi sering mengalami kemacetan.

dari Jambi dapat dilanjutkan ke Sungai Penuh untuk ongkosnya saya sendiri kurang tahu pasti.

waktu itu perjalanan saya dari Bedeng8 Kayu Aro menuju pintu rimba Gunung Kerinci dimulai pukul (an.

sementara pendakian dimulai pukul 10 dari pintu rimba.

biasanya para pendaki banyak ngecamp di shelter 2,

akan tetapi kami memilih untuk menginap di shelter 3 saja.

(karena jarak tempuh dan lama perjalanan menuju puncak lebih cepat dibanding jika ngecamp di shelter 2)

pukul 6 sore, kami tiba di shelter 3.

waktu yang tepat ketika senja mulai menyeruak di langit kerinci.

jingga dan indah.

setelah mendirikan tenda dan merapikan barang2,

kami mulai masak untuk makan malam,

dilanjutkan mengobrol sembari masak untuk esok pagi setelah muncak.

pukul 11 malam kami beristirahat.

esok dini hari kami memulai pendakian pada pukul 04.30

dan tiba di puncak pukul 7 pagi.

waktu itu kabut cukup tebal dan angin kencang.

setelah berfoto, kami segera kembali menuju shelter 3.

kami tiba di shelter 3 sekitar pukul 09.00

kami menemukan pohon2 edelweiss di sekitar shelter 3.

perjalanan turun kami lakukan siang harinya.

kurang lebih ketika senja tiba, kami telah sampai di pintu rimba.

kesorean, dan tak ada transportasi menuju patung macan.

karena baru ada transportasi dari patung macan.

maka kami putuskan berjalan kaki menyusuri jalan aspal ke patung macan,

sudah setengah 8 malam.

kami juga tidak mendapatkan tumpangan.

hingga akhirnya, sebuah mobil pick up memberi tumpangan dan mengantar kami langsung menuju Bedeng 8 Kayu Aro.

Minggu, 13 Maret 2011

ketika mapala menjadi suatu titel..

ketika mapala menjadi suatu titel..

dengan angkuh kita bicara menaklukkan puncak2 tinggi.

memanjat2 tebing batu.

menyusuri goa2.

dan mengarungi sungai2.

ketika mapala menjadi titel..

dengan bangga kita bicara tentang minuman2 tiap malam yang kita teguk.

ketika mapala menjadi titel..

kita selalu bicara tentang pelestarian alam.

tapi dengan acuh meninggalkan sampah di alam.

ketika mapala menjadi suatu titel..

kita bicara kebersamaan,tapi nyatanya pembedaan.

antara tua muda.