Jumat, 24 Januari 2014

PELAJARAN DARI SEPASANG WEDGES BERHAK TUJUH CM



Hari itu, akhirnya ku kenakan sepatu wedges berhak tujuh senti meter itu. Sepatu itu sudah ku beli hampir sebulan yang lalu. Pada dasarnya aku adalah perempuan yang jauh dari kata feminim. Jika ada skala satu hingga sepuluh, mungkin hampir seluruh orang yang mengenalku akan member nilai pada angka dua hingga empat. Ya, sejak dulu dengan gaya berbusana yang simple, celana jeans dan kaos dipadukan dengan sepatu kets atau sandal jepit dalam keseharianku. Paling mentok aku memakai flat shoes yang tidak terlalu ribet buatku Bahkan saat kuliah, aku selalu sedia sandal di dalam tas, sehabis kelas usai aku langsung mengganti sepatu yang ku kenakan dengan sandal. Begitu pula saat bekerja. 

Dengan sepatu wedges berhak tujuh sentimeter aku muncul di lobi kantor, menyapa beberapa rekan kantor yang kemudian mulai heboh dengan reaksi mereka melihat sepatuku. Seperti tidak percaya bahwa seorang aku bisa mengenakan sepatu yang jauh dari kriteriaku. Menanggapi reaksi mereka, hanya tertawa sambil sesekali balas mengejek pada mereka yang bercanda mengejekku.



Siangnya, aku dan rekan kerjaku pergi ke rumah makan dekat kantor. Sudah hampir lima jam sepatu itu tak lepas dari kakiku, rasanya kaki hingga pergelangannya pegal, mungkin karena aku tidak terbiasa menggunakan sepatu semacam itu. Sambil menyapa ibu penjual makanan, aku berkomentar tentang sakitnya kakiku. Ketika aku berbalik ke belakang menuju meja makan, aku lihat seorang bapak yang duduk dengan memegang tongkat. Seketika aku diam, duduk di mejaku menunggu pesanan datang. Bapak itu dengan tongkatnya kemudian berdiri, membayar pesanannya dan berjalan dengan tongkatnya.

Astagfirullah.. Aku masih terdiam, meski tak tahu saat berkomentar tentang kakiku, aku merasa tidak enak hati. Dalam hati, aku meminta maaf pada bapak itu, meminta maaf pada diriku sendiri. Merasa lebih bersyukur, dan wedges yang ku kenakan hari itu memberi hikmah dalam sepenggal kisah kehidupanku.

Januari 2014

Kamis, 09 Januari 2014

MERAMU KEMESRAAN, MERACIK KEBERSAMAAN DI BUKIT BESAR DAN SERELO




Tebing Bukit Besar dan Serelo, aku mengenal keduanya ketika masa studiku di Palembang. Bukit Besar dan Serelo, merupakan dua buah bukit yang terletak di Sumatera Selatan, tepatnya di Kecamatan Merapi Barat, Lahat. Kali pertama aku kesana awal tahun 2008. Berangkat dari Palembang menuju Lahat memakan waktu selama kurang lebih enam sampai delapan jam dengan menggunakan kereta. Turun di stasiun Banjarsari, perjalanan dilanjutkan menuju Desa Sukamerindu selama satu hingga dua jam. Desa Sukamerindu merupakan salah satu desa dari beberapa desa yang berada di Kecamatan Merapi BaratKali pertama menginjakkan kaki disana, kesulitan yang paling ku alami adalah bahasa, dimana ada beberapa bahasa yang tidak kupahami.

Agenda berkunjung ke Bukit Besar dan Serelo selanjutnya menjadi agenda rutin setidaknya sekali dalam setahun bersama rekan sekaliggus saudaraku di sebuah organisasi mahasiswa pecinta alam. Lokasi paling menyenangkan di Bukit Besar berada di sebuah tebing dengan batuan andesit, tahun 2008 adalah kali pertama pula aku memanjat tebing alami. Pada lokasi tebing ini, terdapat air terjun dan sungai yang jernih. Setiap kali aku dan rekan-rekan berkunjung kesini, kami selalu menikmati nyanyian air tebing di tengah-tengah hangatnya kebersamaan yang kami ramu. Lokasi ini pula yang menjadi tempat favorit kami untuk mandi, selain karena airnya yang jernih dan sejuk, sungai ini memiliki panorama yang begitu alami dan menetramkan jiwa.

Untuk menuju bukit Serelo, biasanya kami menyebrangi sebuah sungai besar yang jika hujan airnya mengeruh menjadi coklat seperti kali. Di lokasi ini, terdapat banyak lintah dan pacet. Pertama kali aku menemukan seekor pacet yang tengah asik menghisap darahku, aku hanya teriak-teriak memanggil rekan satu pendidikanku sambil berseru “apa ini?”. Rekanku yang asli orang Palembang dan sepertinya biasa melihat pacet hanya menghapiriku sambil berkata “tenang, kalau sudah kenyang nanti dia lepas sendiri, atau kamu taburin aja kopi atau abu rokok”.
Ada sebuah pondok dan lahan di tepi sungai tersebut tempat kami beristirahat. Hal yang paling malas ku lakukan di tempat ini adalah mandi, selain airnya yang kotor, pacet dan lintah jadi alasanku untuk memilih tidak mandi disini. Sah-sah saja kan tidak mandi di dalam hutan? Hehehehe. Pernah suatu ketika, ada salah satu rekan yang digigit lintah dan mengalami demam semalaman. Meskipun dengan kondisi lokasi yang seperti itu, suasana kebersamaan selalu hadir di tiap langkah perjalanan kami. Saling membantu dalam kegiatan yang panjang dan memakan tenaga yang tidak sedikit. Belajar saling memahami dengan keterbatasan alam yang mengajarkan kami banyak hal dalam kehidupan.
Berangkat dari pondok tersebut, di bukit Serelo juga terdapat sebuah pondok di tengah sawah yang asri. Letaknya di lembah yang begitu indah, dengan kunang-kunang sebagai bonus cahaya pada malam hari. Meski tubuh lelah dan lengket, di tempat ini setidaknya kami terhibur oleh adanya pancuran air di tengah sawah untuk mandi. Selain itu di tengah sawah terdapat sebuah batu besar yang dapat dinaiki, disana aku dan rekan-rekan biasa menghabiskan malam ditemani nyanyian jangkrik, kunang-kunang, sembari menatap langit yang begitu luas. Ini merupakan tempat terindah yang sangat menenangkan jiwa dari kepenatan kota yang begitu sumpek.

Bukit Serelo, memiliki tebing pada puncaknya yang disebut Kedaton. Meski Bukit Serelo tak memiliki ketinggian setinggi gunung-gunung, namun pemandangan dari tepi Kedaton sungguh luar biasa. Dari sana terlihat kota Lahat beserta sungai Milang . Jalur mencapai Kedaton cukup menyebalkan karena licin dan hanya menyediakan akar-akar kecil serta ilalang sebagai pegangan, tak jarang dalam perjalanan turun kami begiru sering terpeleset dan mengotori baju kami.



Bukit Besar dan Serelo, keduanya memberi kisah dan kenangan yang begitu dahsyat dalam hidupku. Awal sebuah persaudaraan yang terikat tanpa ikatan darah. Sebuah pembelajaran untuk memahami banyak hal, banyak orang, dan begitu banyak konflik.
Bukit Besar dan Serelo, tempat kita meramu kemesraan, meracik kebersamaan. Menjadi hangat dan penuh rasa.