Senin, 26 Agustus 2013

Terima Kasih Ayah.. Untuk Tidak Melarangku Menjadi Pendaki Gunung


Tak jauh dari kursi tempat aku duuk, seorang bapak menggendong anak perempuan yang usianya mungkin sekitar tujuh tahun. Manja sekali ia menggelayutkan tangan pada leher si bapak, sambil berbincang-bincang tertawa, mungkin ia seorang gadis kecil yang sedang merengek minta dibelikan cemilan sambil menunggu angkutan yang akan mereka tumpangi. Enam belas tahun lalu, mungkin aku juga pernah menjadi seperti gadis itu, masih kecil dan begitu manja.

Gadis kecil tak selamanya kecil dan manja, berubah dan berkembang itu pasti. Dibesarkan dalam lingkungan yang otoriter tapi tak dilarang. Aku terdidik menjadi keras dan semaunya, tapi bukan berarti aku tak punya adat. Ayah pun adalah seorang yang keras namun tak mengekang. Pertentangan mungkin  terjadi, tapi aku tahu kita baik-baik saja.

Ayah tidak pernah banyak bertanya jika ada teman laki-laki berkunjung ke rumah, entah karena ia anggap aku masih gadis kecil atau sebenarnya ia bertanya-tanya dalam hati? Entahlah. Tapi aku rasa, ayah hanya mencoba member kebebasan padaku untuk memilih , aku rasa ia percaya bahwa aku mampu memutuskan. Ayah tidak pernah melarang untuk bermain dengan teman-temanku, selama itu jelas dengan siapa dan kemana.  Selama sekolah pun ayah tidak pernah bawel untuk memaksaku ikut bimbingan belajar atau kursus sana-sini.

Satu pertentangan yang hampir membuatku tidak bicara padanya selama dua bulan adalah soal kuliah, saat itu aku bahkan tidak ingin dan tidak pernah terpikir untuk kuliah di tempat yang ia putuskan. Saat itu ia dan aku menjadi keras dan tidak satupun ingin mengalah sampai akhirnya aku memutuskan ikut pada pilihannya. Pada awalnya memang terasa berat dan terkesan “tidak ikhlas”, tapi ternyata aku berhasil menemukan sisi lain dari semua yang terjadi. Benar, kehidupan memang tak selalu sesuai rencana, tapi selalu ada cara untuk bisa menghadapi, fleksibel.

Satu yang sangat aku hargai, bahwa ayah tak pernah melarangku menjadi seorang pendaki gunung, meski mungkin dalam hatinya ia khawatir dengan kegiatanku yang satu itu. Tapi ayah, tidak pernah mengatakan kekhawatirannya. Suatu hari saat aku tersadar bahwa ia semakin tua dan aku harus semakin dewasa, dalam sebuah kedai makan bersama rekan kerjanya yang asik bercerita sebuah pendakian pada masa muda mereka, ayahku berkata “Anak saya juga pendaki gunung.”

Terima kasih ayah, untuk tidak melarangku menjadi pendaki gunung.
Setidaknya hingga saat ini.. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar