Rabu, 08 September 2021

PATAH HATI TERPARAH

 Patah hati terparah adalah ketika kamu menyayangi orang tua, namun ia memilih orang lain, memintamu selalu mengalah, bahkan menyalahkanmu atas semua perlakuan di masa kecil. 


patah hati terparah tak kunjung usai dimakan waktu. time heals all wounds tak berlaku. kamu tau bagaimana akhirnya sampai di tahap patah hati terparah? karena berkali kali berulang, selalu, seperti itu. kamu diminta mengalah, kamu diminta tidak egois, bahkan ketika kamu meledak, mereka lupa apa yang menyebabkanmu seperti itu: masa lalu yang tertanam. 

Tangsel, Sept 2021.

Dari hatiku yg telah patah. 

Rabu, 06 Februari 2019

MEMUTUSKAN RESIGN



Resign dari pekerjaan mungkin hal yang biasa bagi para pegawai seperti kita. Saat memutuskan resign banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan, entah itu gaji, kesempatan berkembang, atau bahkan atasan bisa jadi alasan seseorang memutuskan resign. Tentunya ada alasan-alasan lain yang pasti berbeda antara satu orang dengan yang lain.

Satu hal yang harus dipastikan saat memutuskan resign adalah bahwa keputusan tersebut telah dipikirkan dengan matang, bukan berdasarkan emosi sesaat. Buat daftar alasan-alasan apa saja yang membuat harus resign, serta hal-hal apa saja yang bisa menjadi alasan untuk tetap bertahan. Setelah membuat daftar itu, pikirkan mana hal yang lebih positif untuk diri sendiri. Kadangkala ada saatnya harus memutuskan resign meski lingkungan kerja sudah sangat begitu nyaman, baik rekan kerjanya atau pekerjaannya sendiri. Namun akan ada hal yang lebih penting untuk dijadikan alasan resign seperti kesempatan berkembang atau perasaan dihargai. Setiap keputusan akan mengorbankan satu hal lain yang tidak dijadikan keputusan. Maka bersiaplah atas segala resiko dari keputusan itu sendiri. 

Tapi satu hal yang saya yakini sampai saat ini mengenai resign, jika kamu merasa lega setelah melakukannya maka itu artinya kamu telah mengambil keputusan yang tepat untuk dirimu sendiri. Karena yang benar-benar tahu alasanmu untuk resign adalah dirimu sendiri.

Kamis, 13 Juli 2017

DARI RANTE MARIO KE JALAN LAIN KE RUMAH


RANTE MARIO, LATIMOJONG
NEVER ENDING UWOWWWW




Gunung Latimojong merupakan gunung tertinggi di Sulawesi, terletak di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan dengan puncak tertingginya puncak Rante Mario yang berada pada ketinggian 3478 mdpl. Selain itu terdapat beberapa puncak lain di Pegunungan Latimojong diantaranya puncak Nenemori (3397 mdpl), puncak Latimojong (3305 mdpl), dan Rante Kambola (3083 mdpl). Menurut informasi yang saya baca di internet terdapat tiga jalur pendakian Gunung Latimojong, namun yang sering digunakan oleh para pendaki adalah jalur pendakian via Dusun Karangan di Kecamatan Baraka.

26 Juni 2017.
Setelah tertunda dua kali dalam satu tahun, akhirnya niat saya untuk mendaki Gunung Latimojong terlaksana bulan Juni 2017. Setelah dengan hati-hati mendapatkan izin orang tua (karena saya berangkat di hari kedua lebaran Idul Fitri), saya pun memesan tiket penerbangan menuju Makassar untuk tanggal 26 Juni 2017 lalu. Kami (saya dan teman-teman) tiba di Makassar pukul dua dini hari keesokkannya (27 Juni 2017) dan langsung bertemu dengan teman kami yang mengantarkan mobil karena memang rencananya kami akan menyetir sendiri selama perjalanan ke Latimojong dan explore tempat-tempat lain di Sulawesi Selatan.

Sebelum berangkat menuju Karangan

Kondisi Jalan dari Baraka menuju Karangan

27 Juni 2017.
Bertolak dari Bandara Sultan Hasanuddin, kami meluncur menuju basecamp pakis di Baraka. Kami sempat mampir di Masjid Raya Pare Pare untuk menjemput seorang teman yang akan menemani kami mendaki Gunung Latimojong. Tiba di basecamp Pakis, kami segera repacking dan berangkat menuju Dusun Karangan dengan menggunakan jeep. Perjalanan menuju Dusun Karangan sekitar dua setengah jam dari Baraka. Jeep bisa memuat hingga dua belas orang sehingga akan lebih hemat jika jumlah rombongan lebih banyak. Untuk jeep kami berbarengan dengan rombongan lain dari Jakarta juga sehingga bisa menghemat anggaran. Harga sewa jeep untuk perjalanan dari Barake ke Karangan berkisar 1,4-1,7 juta untuk pergi pulang, alternatif selain menggunakan jeep adalah dengan menumpak truk sayur namun truk ini biasanya hanya ada pada hari Senin dan Kamis saat hari pasar. Kami tiba di Dusun Karangan pukul setengah tiga sore, beristirahat untuk makan dan shalat kemudian memulai pendakian.

Jalur dari Basecamp ke Pos 1

Tim pendakian berjumlah enam orang, terdiri dari Edi, Ilman, Kiki, Murham, Ria dan saya sendiri. Pendakian dimulai pukul empat sore dengan kondisi hujan. Sebenarnya target pendakian adalah sampai Pos 5, tetapi karena kondisi tim di lapangan akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda di Pos 2 pada pukul delapan malam. Sejujurnya saya kurang begitu senang mendaki malam dalam kondisi hujan apalagi dengan jalur yang cukup curam seperti jalur dari Pos 1 ke Pos 2 yang beberapa kali sampai harus memeluk batang pohon. Malam itu di Pos 2 pun sangat ramai sehingga sulit untuk mendapatkan tempat camp yang nyaman. Setelah selesai mendirikan tenda, kami pun memasak dan makan malam kemudian beristirahat. Karena perjalanan dari basecamp ke Pos 2 dilakukan malam hari maka kami tidak punya foto selama di jalur, yang jelas jalur dari Pos 1 ke Pos 2 cukup ekstrem karena di sisi kiri adaah jurang, selain itu seringkali kami harus memeluk batang pohon dan bertumpu pada akar-akar pohon.

Goa Pos 2
Pos 2 (pic: Ria)


28 Juni 2017.
Pendakian dilanjutkan lagi pada pukul delapan pagi. Atas saran salah seorang teman, kami memutuskan meninggalkan tenda di Pos 2 dan naik ke puncak dengan membawa beberapa barang saja seperti flysheet, kompor, nesting, raincoat, senter, dan peralatan lain yang diperlukan, Pendakian dari Pos 2 hingga ke Puncak Rante Mario kami tempuh selama kurang lebih delapan jam. Selama pendakian menuju puncak berkali-kali kami memotivasi dengan kalimat "satu tanjakan lagi" yang pada kenyataannya masih harus melewati beberapa tanjakan, saat melihat sebuah bukit kami pikir itulah Rante Mario, namun ternyata puncak Rante Mario masih di balik bukit tersebut, di baliknya lagi, dan di balik punggungannya lagi. (Entah berapa bukit yang harus dilalui untuk mencapai Rante Mario).

Jalur Latimojong, paket lengkap.
mulai dari manjat, merangkak, jalan jongkok, gelantungan, perosotan
Hutan Lumut, pic taken by: Ria
Pic taken by: Ria

Pic taken by: Ria

Kami tiba di puncak Rante Mario dengan kondisi berkabut (yeayyyy! setelah perjalanan panjang dan never ending uwow untuk tanjakannya, di puncak tidak seperti di foto orang-orang dengan background langit biru awan putih). Tapi saya pribadi bersyukur tiba di puncak hanya dengan kondisi berkabut tidak ditambah hujan apalagi badai (hal yang saya khawatirkan selama pendakian menuju puncak). Waktu itu ada cukup banyak tenda yang camp tak jauh dari tugu Rante Mario. Sekitar satu jam kami berada di puncak untuk berfoto dan ngemil, kemudian melanjutkan perjalanan turun pada pukul lima sore. Hari mulai gelap dan senter-senter mulai mengiringi langkah kami. Sekali lagi kami mendaki malam dengan jalur yang benar-benar uwowwwww. Sekitar pukul setengah dua belas malam kami tiba di Pos 2, tempat kami camp. Setelah masak, makan, dan bersih-bersih tanah yang menempel di kaki dan tangan, kami pun beristirahat.

Jalur yang terlihat landai sebenarnya tidak :p

Jalur Pendakian Latimojong

Jalur Pendakian Latimojong

Istirahat Makan Siang Saat Menuju Puncak
Puncak Rante Mario
Puncak sempat cerah. Pic taken by: Ria


29 Juni 2017.
Pukul sepuluh pagi kami pun melanjutkan perjalanan turun ke Dusun Karangan dan tiba disana pukul setengah satu siang. Kemudian mencari jeep dan menuju ke Baraka kembali.

Perjalanan Turun Menuju Pos 1, pic taken by: Ria

Puncak adalah bonus, mungkin kami belum beruntung untuk mendapatkan foto di puncak Rante Mario dengan background langit biru awan putih yang cerah, meskipun berkabut saat di puncak, tapi hal yang lebih melekat adalah cerita selama perjalanan, sebuah proses.

Karena tujuan setiap pendaki adalah untuk pulang dengan selamat. 

Berikut ringkasan pendakian Gunung Latimojong:

26 Juni 2017
23.05-02.00 Penerbangan Jakarta-Makassar

27 Juni 2017
02.00-03.00 Tiba di Makassar dan persiapan.
03.00-10.00 Perjalanan Makassar-Baraka
10.00-11.00 Persiapan di basecamp Pakis Baraka
11.00-14.00 Perjalanan Baraka-Karangan
14.00-16.00 Istirahat dan persiapan di basecamp Karangan
16.00-20.00 Basecamp Karangan-Pos 2

28 Juni 2017
08.00-16.00 Pos 2-Puncak Rante Mario
16.00-17.00 Puncak Rante Mario
17.00-23.30 Puncak Rante Mario-Pos 2

29 Juni 2017
10.00-12.30 Pos 2-Basecamp Karangan

Kamis, 30 Maret 2017

PANTAI SINDANGKERTA

Pantai Sindangkerta
Photo by: @sartikanoriza
Akhir Maret 2017 saya dan beberapa sahabat yang baru kenal dalam kelas inspirasi Tasikmalaya berkunjung ke Pantai Sindangkerta, sebuah pantai yang berjarak sekitar 74 kilometer dari Kota Tasikmalaya. Pantai Sindangkerta terletak di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Jarak tempuh menuju Pantai Sindangkerta sekitar tiga jam perjalanan dengan kendaraan pribadi, untuk transportasi umum bisa menggunakan bis dengan rute Tasikmalaya-Karang-Cipatujah-Pamayang (Bis Budiman, Sakura), turun di Pantai Sindangkerta. Untuk informasi menggunakan bis saya kurang paham karena kami menggunakan kendaraan pribadi.

Tiket Masuk Pantai Sindangkerta

Akhirnya sehabis sarapan kami yang terdiri dari enam orang berangkat dari Ciamis karena malamnya menginap disana, dari Ciamis kami berangkat pukul setengah delapan pagi dan tiba pukul sebelas. Jalan menuju Pantai Sindangkerta berkelok-kelok dan naik-turun, beberapa dari kami sempat merasa mual untungnya tidak sampai jackpot, hehhe. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan sawah dan pantai yang indah. Retribusi masuk Pantai Sindangkerta sebesar Rp 3.500,-/orang, tarif yang cukup murah menurut saya.

Pemandangan Menuju Pantai Sindangkerta
Photo by: @ishaprilia

Di Pantai Sindangkerta terdapat beberapa spot yang bagus untuk berfoto, karena banyak karang maka saya sarankan untuk memakai sandal agar kaki tidak sakit dan juga tidak panas saat berjalan di pasir pantai. Kami sempat berendam di salah satu bagian pantai yang cukup tenang ombaknya, juga berfoto di beberapa spot. Beruntung karena traveling kali ini, kami mengajak fotografer terpercaya yang terbukti kesabarannya dalam memenuhi keinginan kami untuk berfoto-foto, hehehe.

Photo by @ahmad_fadil_hilmi
In frame: @ishaprilia
Photo by: @ahmad_fadil_hilmi
Pantai Sindangkerta cukup jauh dari Kota Tasikmalaya, namun segala mual dan lelah selama perjalanan tertebus oleh keindahannya, oh ya Pantai Sindangkerta juga termasuk cukup bersih. Berminat mengunjungi Pantai Sindangkerta? Tapi jangan lupa untuk menjaga kebersihannya ya agar tetap alami. :)
Berendam, in frame: @riliahp @sartikanoriza @aldilaastrilia
Photo by: @ahmad_fadil_hilmi

Ahmad Fadil Hilmi, fotografer.


Sabtu, 24 Desember 2016

NGGAK MAU COBA COFFEE TAREEK KAK?

Suatu hari, di sebuah kedai kopi.
"Nggak mau coba coffee tareek kita kak?"
Setelah sekian lama tidak kesana, menu yang biasa ku pesan hilang dari daftar, ditambah pegawai kedai kopi yang tidak lagi ku kenal. Pertanyaan itu terlontar setelah aku akhirnya memutuskan memesan black coffee setelah espresso hilang dari daftar.
"Nggak deh, mas yang biasanya kemana?" aku menolak sekaligus bertanya.

Esok-esoknya setiap aku kembali ke kedai kopi itu, aku mendapatkan tawaran yang sama dari pegawainya. "Nggak mau coba coffee tareek kita kak? Lebih strong kopinya. Kalau lu suka kopi, gue jamin deh lu pasti suka coffee tareek kita"

Setelah tiga kali menolak, akhirnya aku memutuskan untuk memesan coffee tareek yang ditawarkan. Harus aku akui rasanya memang lebih kuat dan aku menyukainya, kopinya maksudku bukan si pegawai yang menawarkan kopi. Hehehe.

Hanya karena kalimat "Nggak mau coba coffee tareek kita kak?" Aku berpikir, rupanya kita butuh sesuatu yang baru, seseorang yang baru. Setelah yang lama pergi dan meninggalkan luka yang membekas, tak pernah benar-benar hilang dari hati.

Mungkin sebaiknya aku berterima kasih pada pegawai yang kini sudah semakin hafal denganku yang hampir selalu memesan coffee tareek dan tanpa gula saat berkunjung ke kedai kopi itu.

Jumat, 04 November 2016

GARIS WAKTU - FIERSA BESARI

"Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau bertemu dengan satu orang yang mengubah hidupmu untuk selamanya. Kemudian, satu orang tersebut akan menjadi bagian terbesar dalam agendamu. Dan hatimu takkan memberikan pilihan apapun kecuali jatuh cinta, biarpun logika terus berkata bahwa resiko dari jatuh cinta adalah terjerembab di dasar nestapa." (Fiersa Besari, Garis Waktu)

Garis Waktu, sebuah karya dari Fiersa Besari, menceritakan sebuah perjalanan menghapus luka. Karya-karya Bung (Fiersa Besari) pertama kali saya kenal dari tulisan-tulisan dalam blognya tentang perjalanannya keliling Indonesia. Seharian saya membaca blog Bung dan berpikir betapa patah hati mampu membuat seseorang melakukan hal luar biasa seperti yang ia lakukan.

Secara keseluruhan, Bung menceritakan kisah dengan bahasa yang ringan, meski di akhir Garis Waktu terasa seperti dipaksakan selesai. Namun terlepas dari itu, Garis Waktu sukses mempermainkan perasaan saya. Saya dibuat berbunga-bunga pada awal, kemudian dihempas jatuh hingga ke dasar pada akhirnya. Saya terseret dalam alur cerita dimana seseorang memulai jatuh cinta, memperjuangkan perasaan meski sempat bertepuk sebelah tangan, merasakan kasmaran, berbunga-bunga hingga sebuah hubungan mulai merenggang sampai pada akhirnya harus kandas dan sang tokoh kembali patah. Bukankah cinta selalu luar biasa? Suatu saat membuat hati kita berbunga-bunga seperti taman yang indah, di saat lain meluluhlantakkan seperti badai.

Dengan caranya, Bung mampu membawa pembaca seolah turut serta melakoni kisah Garis Waktu. Melalui tulisannya, seseorang bahkan seperti merasa nyata mengalaminya. Perihal cinta memang tak pernah sesederhana yang kita katakan, juga sebetulnya tak pernah serumit yang kita bayangkan. Mungkin benar adanya jatuh cinta adalah perkara mudah, yang sulit adalah memulainya kembali ketika kita sadar bahwa hati kita telah patah. Merasa nyaman dengan seseorang adalah soal gampang, yang sulit adalah ketika harus siap saat seseorang itu tak lagi ada untuk kita.

Patah hati mampu membuat seseorang berada dalam zona ketakutan. Takut untuk kembali jatuh, membentengi diri sendiri tanpa memberi kesempatan untuk membiarkan orang lain masuk dalam kehidupan. Patah hati juga dapat menimbulkan perasaan terlalu berhati-hati dan tak mampu menjatuhkan diri dengan sukarela. Karena patah hati, seseorang bisa benar-benar memelihara ketakutan.

"Dan karena hati akan sakit lagi, bukan berarti kita harus berhenti jatuh hati." 
(Fiersa Besari, Garis Waktu)

Benarkah? Siapkah untuk resiko terburuk dari jatuh hati? Kadang pikiran menuntut kerasionalan tak berbatas, sementara hati seringkali butuh ketidakrasionalan. Sebab jatuh hati bukan selalu tentang kebahagian, kita bahkan harus menangis dan merasa sendu karenanya. Sebelum kau siap untuk jatuh hati, bersiaplah untuk patah. Jika kau tak penah siap untuk patah, maka patah hati terburuk adalah saat kau tak pernah siap untuk jatuh kembali.

"Pada akhirnya, jemari akan menemukan genggaman yang tepat, kepala akan menemukan bahu yang tepat, hati akan menemukan rumah yang tepat." (Fiersa Besari, Garis Waktu)

Sebelum itu terjadi, berkelanalah. Berdamailah dengan hatimu sendiri, suatu saat kau tahu kemana harus pulang.

Tangerang Selatan, November 2016
SN

Senin, 25 Juli 2016

ARGOPURO: 31 MEI-4 JUNI 2016 VIA BREMI

Akhir Mei 2016 kemarin dengan tekad yang mengandung nekat, saya berangkat sendiri ke Surabaya dengan kereta api kelas ekonomi Gaya Baru Malam. Niat awal adalah mendaki gunung Argopuro, tetapi mendekati hari keberangkatan saya dari Jakarta, teman saya di Surabaya mengabari sepertinya tidak ada tim yang bisa berbarengan dengan saya untuk mendaki. Karena kebutuhan nge-trip yang mendesak, didukung sisa cuti tahun lalu sebanyak lima hari yang akan hangus jika tidak digunakan per 30 Juni, saya tetap berangkat ke Surabaya dengan sederet plan cadangan jika batal mendaki Argopuro.

Sabtu 28 Mei 2016, dengan ngos-ngosan saya menghampiri antrian paling depan di mesin cetak tiket Stasiun Senen lalu minta tolong pada antrian membiarkan saya untuk lebih dulu ngeprint tiket, waktu itu pukul 10.20 dan jadwal kereta saya berangkat pukul 10.30. Beruntung saya tidak ketinggalan kereta, kan nggak lucu sudah sendirian ketinggalan kereta pula. Hehehe. Ini pertama kalinya saya naik kereta ke Surabaya langsung, sebelumnya saya biasanya singgah di Jogja dulu baru melanjutkan ke Surabaya dengan bus. Lima belas jam di kereta ternyata sangat pegal, sudah berkali-kali ubah posisi dan mondar mandir ke sambungan kereta, ngobrol sama ibu-ibu sebelah, makan cemilan, intinya hampir "mati kutu" bingung mau ngapain. Akhirnya Minggu dini hari pukul 01.30 saya sampai juga di stasiun Gubeng, disana saya dijemput teman saya Haqim (Blank) dan diajak ke basecamp Mapalsa untuk istirahat.

Tak kan lari gunung dikejar tak kan lari jika berjodoh, begitulah kira-kira. Akhirnya setelah Blank mengajak Pumeto adiknya di Mapalsa, dan saya mengajak Cicik yang dulu pernah magang di kantor saya, hari Senin 30 Mei 2016, kami berempat berangkat ke Probolinggo dan singgah di Mapala Fatarpa dengan maksud menculik penghuninya untuk ikut serta ke Argopuro.

Gunung Argopuro terletak di kawasan Jawa Timur dengan puncak tertinggi (puncak Argopuro) berada di ketinggian 3.088 meter diatas permukaan laut,  selain itu terdapat dua puncak lainnya yaitu puncak Rengganis dan puncak Arca. Ada dua jalur pendakian gunung Argopuro yaitu via Bremi dan Baderan. Gunung yang terkenal dengan legenda Dewi Rengganis ini katanya merupakan gunung dengan jalur pendakian terpanjang di Jawa.

31 Mei 2016
Selasa siang kami ditambah dua orang anggota Fatarpa, kami berangkat ke basecamp Bremi. Anggota tim berjumlah enam orang yaitu Blank (Haqim), Pumeto (Riza), Bencrot (Bayun), Keppak (Ali), Cicik, dan saya sendiri. Rencana awal sebenarnya kami akan naik dari Baderan tetapi akhirnya berubah, dari basecamp Fatarpa ke Bremi, kami diantar oleh anggota Fatarpa lainnya sekalian mereka akan menjemput anak-anak dari Bandung yang sedang mendaki Argopuro sejak Sabtu kemarin. Kami agak lama berada di basecamp Bremi karena lupa membawa materai sehingga Blank dan salah satu anggota Mapala Fatarpa terpaksa harus mencari materai dulu. Untuk mengejar waktu, kami start pendakian pukul setengah lima sore dengan target sampai ke Taman Hidup. Seluruh anggota tim mengenakan jas hujan karena saat itu hujan deras. Hari semakin malam dan dingin, jalur yang sempit dan licin, ditambah sulitnya berjalan malam dengan mengandalkan cahaya senter serta melihat kondisi salah satu anggota tim akhirnya kami memutuskan untuk camp darurat sebelum berhasil sampai ke Taman Hidup. Waktu itu sudah pukul sembilan malam.

 Sesi foto-foto pertama sejak mulai pendakian (Pumeto, Saya, Blank)
Masak dan makan siang di Danau Taman Hidup
Pumeto, Bencrot, Blank, Saya (Tika/Buncit), Cicik
1 Juni 2016
Rabu pukul enam pagi , saya menyusul Pumeto yang sudah lebih dulu bangun dan masak di depan tenda. Setelah masak dan makan, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju Taman Hidup. Perjalanan hari ini targetnya adalah Cemoro Limo. Pendakian kembali dimulai pada pukul delapan pagi, kurang lebih satu setengah jam kami sampai di Taman Hidup. Taman Hidup adalah sebuah danau dengan tepiannya yang berupa rawa, disana kami memasak, makan, dan bersitirahat. Sekitar pukul dua belas siang kami melanjutkan perjalanan kembali dan bertemu dengan tim dari Bandung dan Malang yang sedang berjalan turun menuju Bremi. Pukul lima sore kabut mulai turun dan angin dingin sekali, Blank menyarankan tim untuk memakai jaket/raincoat. Saat saya mengenakan raincoat, seorang anggota tim duduk di atas kayu pohon dan diam saja ketika saya panggil. Karena saya merasa heran dan khawatir, saya hampiri dan guncangkan pundaknya, bukannya bereaksi dia malah terjatuh, saya akhirnya menampar-nampar wajahnya, setelah berkali-kali tamparan keras dari saya, akhirnya dia baru terbangun. Melihat kondisinya, saya dan yang lainnya merasa khawatir, tetapi kami harus tetap melanjutkan perjalanan ke Cemoro Limo karena itu lokasi yang paling memungkinkan untuk camping. Syukurlah tepat pukul enam sore kami tiba di Cemoro Limo, kami berbagi tugas untuk memasak dan mendirikan tenda.


Di Perjalanan menuju Cemoro Limo
2 Juni 2016
Pukul sembilan pagi kami melanjutkan pejalanan menuju puncak. Di tengah perjalanan, seorang teman kembali drop. Saya yang belum pernah mendaki Argopuro sebelumnya bertanya dengan anggota tim lainnya apakah memungkinkan tetap melanjutkan perjalanan dengan kondisi seperti ini. Setelah berdiskusi akhirnya kami memutuskan untuk menanyakan langsung kepadanya apakah mau lanjut atau tidak. Karena semangatnya yang tak surut dan tetap bertekad untuk lanjut akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Pada pukul dua siang kami tiba di Sabana Lonceng yang merupakan persimpangan antara Puncak Argopuro dan Puncak Rengganis. Keppak menawarkan diri untuk tidak ikut ke Puncak Argopuro dan menjaga barang-barang, sementara lima orang lainnya mendaki Puncak Argopuro. Turun dari Puncak Argopuro, Cicik, Pumeto dan Bencrot memutuskan untuk tidak ikut ke Puncak Rengganis. Akhirnya hanya Blank, Keppak dan saya yang menuju Puncak Rengganis. Sehabis turun dari Puncak Rengganis, kami bertemu dengan dua pendaki dari Bandung yang akan turun via Bremi. Kami sempat mengobrol sebentar kemudian pukul lima sore kami melanjutkan perjalanan dan tiba di Rawa Embik satu jam kemudian, kami bertemu dengan tim dari Sidoarjo berjumlah empat orang yang naik dari Baderan, akhirnya di malam ketiga tenda kami ada tetangganya.

Para lelaki tangguh yang menemani pendakian, thanks guys :)




Puncak Argopuro








Puncak Rengganis

Cicik Andriani (jilbab pink). Satu-satunya temen cewek dalam tim, awalnya ini anak nggak pake jilbab. karena kita mampir ponpes Nurul Jadid dan wajib pake jilbab akhirnya dia dipinjemin jilbab dari sekret Fatarpa dan dipake terus sampai selesai pendakian.
Pemandangan Sekitar Puncak Rengganis
3 Juni 2016
Jumat pagi sekitar pukul sebelas, kami melanjutkan perjalanan menuju camp selanjutnya, sejenak mampir di Cisentor untuk masak dan makan serta menikmati segarnya air di Cisentor. Lewat sedikit dari pukul lima sore kami tiba di Cikasur, disana terdapat sebuah bangunan yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda di dalamnya. Malamnya tim dari Sidoarjo pun tiba di Cikasur, mereka yang sebelumnya berniat turun via Bremi akhirnya memutuskan turun via Baderan. Setelah masak dan makan, kami bercengkrama dan main kartu.

Masak dan Makan Siang di Cisentor
4 Juni 2016
Usai mencari selada air dan menikmati segarnya mata air Cikasur, Sabtu pukul setengah sebelas pagi kami melanjutkan perjalanan menuju basecamp Baderan, menurut peta yang diberikan saat di basecamp Bremi, waktu tempuh Cikasur-Baderan sekitar 8-12 jam. Baru membacanya saja saya sudah membayangkan betapa panjang jalur yang akan ditempuh. Benar saja jalurnya panjang sekali, padang rumput luas, masuk ke hutan dengan jalur yang rimbun, keluar ke padang lagi, masuk hutan lagi, begitu terus jalurnya hingga bertemu Makadam, jalur berbatu yang panjangnya minta sabar hingga ke basecamp. Satu jam berjalan dari Cikasur, saya dan Blank bertemu dengan pendaki asal Australia yang mendaki sendirian. Setelah menempuh hampir sebelas jam perjalanan, kami tiba di basecamp Baderan. Sebenarnya lama perjalanan bisa dipersingkat menjadi kurang lebih sembilan jam, karena kami sempat berhenti selama masing-masing satu jam di mata air satu dan dua, untuk memasak dan makan serta mengobrol dengan pendaki dari Jogja yang baru naik dari Baderan.
Full Team di Cikasur. Ki-ka: Keppak, Cicik, Blank, Bencrot, Pumeto, Saya

Ringkasan Perjalanan Pendakian Gunung Argopuro via Bremi
(31 Mei-4 Juni 2016)
31 Mei 2016
16.30-21.00 Basecamp Bremi-sebelum Taman Hidup
(biasanya pendaki akan bermalam di Taman Hidup)
1 Juni 2016
08.00- 09.30 menuju Taman Hidup
12.00-18.00 Taman Hidup-Cemoro Limo
2 Juni 2016
09.00-14.00 Cemoro Limo-Sabana Lonceng
14.00-14.30 Sabana Lonceng-Puncak Argopuro
15.30-15.50 Sabana Lonceng-Puncak Rengganis
17.00-18.00 Sabana Lonceng-Rawa Embik
3 Juni 2016
11.00-12.00 Rawa Embik-Cisentor
13.30-17.00 Cisentor-Cikasur
4 Juni 2016
10.30-21.00 Cikasur-Basecamp Baderan

Gambaran Jalur yang Diberikan di Pos Bremi
Pendakian kali ini memberikan pengalaman dan juga pembelajaran yang berharga bagi kami, bagi saya khususnya. Saya semakin belajar bahwa pendakian adalah tentang keseluruhan tim, belajar bagaimana mendiskusikan dan mengambil keputusan dari situasi dan kondisi yang ada. Jalur pendakian yang panjang dan lama, membuat saya berusaha lebih keras untuk berkali-kali menyemangati diri saya sendiri. Pendakian Argopuro merupakan surga tersendiri menurut saya, dengan suasananya yang sepi dan tenang. Oh ya, katanya banyak yang mengalami kejadian mistis saat pendakian Argopuro, kami sendiri mengalami saat bermain kartu pertama kalinya dimana kartu tiga wajik hilang sehingga kami ganti dengan joker merah. Tetapi dua hari kemudian saat kami bermain kartu di Cikasur, kartu tiga wajik tersebut kembali muncul dan joker merah bertambah satu. Saya sendiri di Cemoro Limo dan Cikasur mengalami  mimpi yang membuat saya sampai mengigau, saat teman saya menanyakan saya kenapa saya hanya menjawab "nggak papa" lalu kemudian saya melanjutkan tidur.

"Motivator terbaik adalah dirimu sendiri, baru orang-orang disekelilingmu."

CIKURAY: 17 AGUSTUS 2015

Dinar Bayu, namanya. Teman yang saya kenal di basecamp pendakian Gunung Lawu pada November 2011 silam, ketika saya baru tiba sementara ia dan temannya baru saja turun dari pendakian. Seminggu sebelum perayaan hari kemerdekaan RI, Dinar menyapa saya lewat bbm untuk mengajak ke Gunung Cikuray pada tanggal 15-17 Agustus 2015. Saya yang belum bisa memastikan akan ikut atau tidak, belum memberinya kepastian hingga H-2 keberangkatan. Hingga Dinar berkata "Aku udah bilang temen-temenku lho kamu mau ikut.". Jadilah saya bergabung dengan pendakian mereka dan berangkat dari Serpong menuju Pasar Rebo pada sabtu malam (15 Agustus 2016). Di Pasar Rebo saya bertemu dengan Dinar dan tiga orang temannya yang kemudian saya kenal bernama Rendra, Rival (Bambang), dan Bewok (Ari). Kami kemudian menuju terminal Kampung Rambutan untuk naik bus tujuan Garut dengan tarif Rp 60.000.

Pemandangan dari Basecamp. Pic taken by: Dinar
Kami tiba di Garut sekitar pukul empat subuh, kemudian sarapan (bisa dibilang mungkin sarapan yang kepagian atau makan malam yang kepagian) dan melanjutkan perjalanan menuju pos pemancar. Sekitar pukul setengah enam pagi kami sudah berada di basecamp pemancar dan bersiap untuk mendaki. Pendakian dimulai pada pukul tujuh pagi dan berhenti setelah satu jam perjalanan untuk sekedar ngopi dan berkelakar. Baru kemdian pukul setengah sepuluh kami melanjutkan perjalanan kembali, ukuran yang sangat santai untuk sebuah pendakian hehehe. Hari itu jalur pendakian sangat ramai mengingat bertepatan dengan momen perayaan hari kemerdekaan dimana banyak pendaki yang ingin melakukan upacara di gunung. Saya yang baru pertama mendaki Gunung Cikuray cukup terkejut dengan jalurnya yang "aduhai" (baca: luar biasa nanjak), untunglah empat lelaki itu cukup pengertian dan santai berjalan sehingga saya tidak terlalu sulit mengimbangi. Semakin jauh mendaki, antrian di jalur pun semakin ramai akhirnya kami memutuskan untuk camp di pos 4. Jujur, ini adalah pengalaman pertama saya naik gunung bertepatan dengan acara 17 Agustus-an.


Ramainya Pendaki
Saat kami memutuskan untuk mendirikan tenda jam baru menunjukkan pukul dua siang. Kami memasak, makan dan bahkan sempat "bobok siang" sebentar. Menjelang senja, kami bangun dan duduk-duduk di depan tenda, Dinar yang membawa guitalele mulai menunjukkan keahliannya sementara yang lain mengikuti dengan bernyanyi. (Saya sampai bbm bang Dinar untuk memastikan nama alat muski tersebut). Setelah makan malam, dua orang pendaki lain bertamu ke tenda kami. Kami mengobrol dan masih ditemani alunan musik dari guitalele yang dimainkan bergantian. Hampir pukul dua belas malam ketika semua personil memutuskan untuk masuk ke tenda. Sebelum tidur, bang Rendra sempat menanyakan kepada saya yang baru pertama kali ke Cikuray "Mba, lu besok subuh mau muncak nggak? ntar gw temenin." Sepertinya bang Rival dan Bewok tidak berniat untuk muncak. Saya sendiri yang melihat jalur pendakian sangat ramai akhirnya menjawab "Nggak ah, kita kemcer (red: kemping ceria) aja disini.", saya memang tidak berniat untuk muncak karena tujuan kali ini adalah sekedar menikmati suasana jauh dari hiruk pikuk ibu kota.
Masak dan Makan Siang di Pos 4
Kuliah Umum hehehe :p
Kami membawa dua tenda berkapasitas masing-masing 2-3 orang. Saya, bang Dinar, dan bang Rival berada dalam satu tenda sementara bang Bewok dan Rendra di tenda lainnya. Saya baru benar-benar terlelap sekitar pukul setengah dua dini hari, dan merasa ada yang membangunkan dari luar tenda menanyakan apakah saya mau ikut muncak. Setengah sadar saya menjawab dalam hati "kan kemaren gue udah bilang nggak pengen muncak.", entahlah itu hanya mimpi atau memang ada yang membangunkan saya sendiri tidak tahu. Paginya pukul setengah tujuh kami sudah memasak dan sarapan, kemudian mengobrol dan lagi-lagi berkelakar. Sekitar pukul dua belas kami melanjutkan perjalanan turun menuju basecamp dan tiba disana sekitar jam dua siang. Beristirahat sejenak lalu langsung mencari angkutan menuju terminal Garut untuk  menyambung bus ke Jakarta. Bang Rizal, Bambang, dan Rendra turun di Bekasi sementara saya dan bang Dinar turun di terminal Kampung Rambutan pada pukul setengah dua belas malam. Karena sudah terlampau malam dan angkutan ke BSD (Serpong) sudah tidak tersedia, akhirnya saya menggunakan jasa transportasi online dan tiba di rumah pukul dua dini hari. Tidur selama tiga jam kemudian bersiap untuk berangkat kerja. Kadang liburan singkat dan santai seperti ini sangat dibutuhkan bagi kuli kantoran seperti saya.

Di Jalur saat Turun ke Basecamp
Satu kata: Ngebul
Ini perjalanan saya yang paling santai dan banyak ketawa. Sebenarnya mungkin sejak awal kami memang tidak berniat untuk ke puncak, yang kami butuhkan adalah suasana tenang yang jauh dari hiruk pikuk ibu kota, beristirahat sejenak dari rutinitas pekerjaan. Setiap perjalanan punya kisahnya masing-masing, tertawalah bahkan jika kau membawa perasaan terluka. Karena kau selalu berhak berbahagia.

"Berjalanlah lebih jauh, kau akan selalu menemukan dirimu"