Kamis, 21 November 2013

PURNAMA, TOLONG LEBIH LAMA.



Ia duduk di tepi sebuah kursi panjang, siang telah digantikan malam. Nafasnya dihela dengan panjang, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak mampu diucapnya. 

Malam itu purnama, ia tahu tak boleh berharap lebih selain memandangnya. Seandainya bisa, ia ingin agar malam biarkan purnama lebih lama. Ingin ia katakan "Matahari datanglah lebih lambat esok pagi".

Ia menatap orang di hadapannya, tangannya digenggam tapi ia enggan berucap. Ia tak ingin semua berhamburan. Tapi kediamannya telah menimbulkan pertanyaan. Apa yang akan ia jawab?

"Lihat! Purnamanya bagus sekali." Setengah berteriak ia berkata. Hanya itu yang bisa dikatakannya. Malam itu cerah. Dalam hati ia berbisik, haruskah ia bersyukur atau mengutuk hujan yang tak datang malam itu.

Diliriknya jam di pergelangan tangannya, sudah lewat jam dua belas malam. Hari dan tanggal pun sudah berganti, tapi ia masih diam, sungguh ia bingung dan membuat orang di hadapannya turut bingung. Mereka menyantap makan malam yang kesiangan dengan lebih banyak diam.

Ia tersadar ia tak boleh berharap lebih, ia tersadar purnama makin turun ke barat. Adakah orang di hadapannya tersadar?

"Pagi, tolong jangan datang dulu." Doanya. Waktunya habis di sudut kedai dengan kisah yang mengingatkan luka. Ia tahu pasti purnama di langit sana begitu indah, sayang tak dapat dinikmatinya.

Ia hanya berusaha mengerti, bisa melihatnya dan tertawa saja sudah cukup, ia sadar, tak boleh berharap lebih. Purnama tertutup mendung, tolong muncul lagi, jangan biarkan matahari cepat datang, kali ini saja. Ia tau, ia egois dan itu hampir mustahil.

Yogyakarta, November 2013

Rabu, 20 November 2013

SEPOTONG HATI DALAM CANGKIR KOPI



Kamu masih tertidur pulas pagi itu, wajahmu nampak begitu polos. Kamu percaya? Kalau kita akan lebih menyadari bahwa kita menyayangi seseorang saat menatapnya orang itu ketika ia tertidur? Saat ini aku percaya. Bagaimana tidak, bangun di pagi hari dan menatap wajahmu yang masih terlelap dalam alam tidurmu. Kadang kita terlalu tidak peka untuk menyadari bahwa sesuatu yang berharga ada sangat dekat dengan kita.


Pelan-pelan ragamu mulai berontak membangunkan jiwamu dari alam bawah sadarmu. Matamu mulai terbuka dan tersenyum melihatku yang masih menatapmu. Sembari kamu mengatakan ingin secangkir kopi, jadilah pagi itu aku menyeduh kopi dan menaburkan coklat granule di atasnya. Terlintas untuk melukis sesuatu di atas permukaan kopi, sebuah lukisan yang berbentuk hati, tidak sesempurna lukisan seorang barista di kafe-kafe mungkin, tapi sepotong hati ada di dalam cangkir kopimu pagi itu. 

Sepotong hati yang ku biarkan kau nikmati, kau hirup dan kau minum. Sepotong hati yang telah kau pilih untuk disimpan dalam sebuah ruang bernama “hati” di dalam rumahmu.


Sepotong hati dalam cangkir kopi, semoga mampu membawa semua yang ku rasa kepadamu, semoga mampu menyampaikan bahwa tak ada yang perlu kau khawatirkan, karena sesungguhnya aku miliki juga kekhawatiran itu.


Sepotong hati dalam cangkir kopi, semoga mampu menjagaku untuk tidak jatuh.


Sepotong hati dalam cangkir kopi, ku berikan padamu.



Blitar, 5 November 2013.

Jumat, 15 November 2013

J A R A K



Dari sudut seratus delapan puluh derajat, kita sejajar. Aku memandang wajahmu, tertidur pulas. Usai sudah obrolan malam itu. Kini aku nikmati malam yang merengkuh setelah kau lebih dulu merengkuhku. Tak ada kekhawatiran untuk jatuh dalam pelukanmu.

 

Esoknya busmu berjalan menjauh, menciptakan jarak. Kau dan aku hanya berkirim pesan. Pernah suatu pagi terasa lebih panas dari biasa, ku temukan sebuah lagu yang ingatkan kau pada yang lampau. Sungguh, aku tak akan mengingat jika bukan kau yang mengingat terlebih dulu.

 

Di balik jendela ku tatap hujan. Jarak, membuatku tak bisa tiba-tiba menyandarkan kepalaku. Aku mencari-cari tanganmu, yang ku temukan hanya angin. Jarak tak berpihak padaku.

 

Pesan singkatmu memintaku tak khawatir, tapi tahukah kau? Kekhawatiran sudah menguasai otak. Apa dayaku?

 

Kepalaku tak tersambut oleh belaian tanganmu. Aku masih saja menatap hujan, menahan gemuruh agar tak banjir. Jarak, menciptakan bahasa menjadi sesuatu yang ambigu.

 

Mataku tak mampu menembus hujan, apalagi menembus puluhan kilo meter jarak ini. Sungguh, seandainya kau disampingku tak ada yang lebih bahagia selain hanya bersandar dan mendapat belaian darimu.

 

Sayangnya, aku berada dalam ruang kosong yang penuh. Hari-hariku terperangkap disini. Menatap hujan.

 

Suaramu jelas terdengar merambat lewat udara, lagi-lagi dengan sabar kau memintaku tak khawatir. Aku tak bisa, sungguh aku menyesal dengan perasaan ini. Setiap orang punya kekhawatiran kan? Begitu juga kau.

 

Masih di balik jendela, telepon genggamku dipengaruhi hujan. Sinyal menciut, aku percaya sinyal terpengaruh cuaca, tapi sinyal kita? Terpengaruhkah oleh hujan?

 

Bahasamu mendiam. Otakku semakin tak terkendali. Sungguh, tak akan kembali ku ingat jika bukan kau yang lebih dulu. Perasaan salah mulai bercampur. Aku makin tak berdaya.

 

Hujan terlalu deras, ruang kosong ini penuh air. Inikah perasaan yang pernah kau sebutkan? Pantas kah ku miliki perasaan itu? Maaf.

 

Bumi Raya Tajem, 15 November 2013