Hari itu, akhirnya ku kenakan
sepatu wedges berhak tujuh senti meter itu. Sepatu itu sudah ku beli hampir
sebulan yang lalu. Pada dasarnya aku adalah perempuan yang jauh dari kata feminim.
Jika ada skala satu hingga sepuluh, mungkin hampir seluruh orang yang
mengenalku akan member nilai pada angka dua hingga empat. Ya, sejak dulu dengan
gaya berbusana yang simple, celana jeans dan kaos dipadukan dengan sepatu kets
atau sandal jepit dalam keseharianku. Paling mentok aku memakai flat shoes yang
tidak terlalu ribet buatku Bahkan saat kuliah, aku selalu sedia sandal di dalam
tas, sehabis kelas usai aku langsung mengganti sepatu yang ku kenakan dengan
sandal. Begitu pula saat bekerja.
Dengan sepatu wedges berhak tujuh
sentimeter aku muncul di lobi kantor, menyapa beberapa rekan kantor yang
kemudian mulai heboh dengan reaksi mereka melihat sepatuku. Seperti tidak
percaya bahwa seorang aku bisa mengenakan sepatu yang jauh dari kriteriaku. Menanggapi
reaksi mereka, hanya tertawa sambil sesekali balas mengejek pada mereka yang
bercanda mengejekku.
Siangnya, aku dan rekan kerjaku
pergi ke rumah makan dekat kantor. Sudah hampir lima jam sepatu itu tak lepas
dari kakiku, rasanya kaki hingga pergelangannya pegal, mungkin karena aku tidak
terbiasa menggunakan sepatu semacam itu. Sambil menyapa ibu penjual makanan,
aku berkomentar tentang sakitnya kakiku. Ketika aku berbalik ke belakang menuju
meja makan, aku lihat seorang bapak yang duduk dengan memegang tongkat. Seketika
aku diam, duduk di mejaku menunggu pesanan datang. Bapak itu dengan tongkatnya
kemudian berdiri, membayar pesanannya dan berjalan dengan tongkatnya.
Astagfirullah.. Aku masih
terdiam, meski tak tahu saat berkomentar tentang kakiku, aku merasa tidak enak
hati. Dalam hati, aku meminta maaf pada bapak itu, meminta maaf pada diriku
sendiri. Merasa lebih bersyukur, dan wedges yang ku kenakan hari itu memberi
hikmah dalam sepenggal kisah kehidupanku.
Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar