Langit memerah seiring
matahari mulai menggelincirkan dirinya ke barat. Perempuan itu masih
diam di tempatnya. Sembari menatap langit, dihirupnya angin senja. Senja
selalu punya ruang dalam dirinya, untuk dinikmati, dikagumi, sekaligus
ditangisi. Ia menghela, letih.
Ingin ia berharap senja lebih lama , namun nyatanya senja adalah perbatasan yang sangat sempit. Pertemuan antara senyum dan tangisnya. Matanya masih terpaku menatap langit, memandang senja. Matanya turut pula memerah, menahan hujan yang siap turun kapan saja.
Baginya, senja adalah dua sisi. Ia mampu tersenyum tapi sekaligus menangis karenanya. Sekali lagi ia menghela, pandangannya menurun, dagunya berpangku pada lutut. Ia tak sanggup melihat langit, ketika senja mulai menjadi muram, menjadi gelap.
Ia masih diam, menghirup angin senja yang menjadi dingin. Tubuhnya mulai meringkuk, memeluk erat malam. Ia telah menciptakan hujan. Saat itu pula ia menjelma, perempuan senja pada sisi malam.
Yogyakarta, 27 Desember 2013
Ingin ia berharap senja lebih lama , namun nyatanya senja adalah perbatasan yang sangat sempit. Pertemuan antara senyum dan tangisnya. Matanya masih terpaku menatap langit, memandang senja. Matanya turut pula memerah, menahan hujan yang siap turun kapan saja.
Baginya, senja adalah dua sisi. Ia mampu tersenyum tapi sekaligus menangis karenanya. Sekali lagi ia menghela, pandangannya menurun, dagunya berpangku pada lutut. Ia tak sanggup melihat langit, ketika senja mulai menjadi muram, menjadi gelap.
Ia masih diam, menghirup angin senja yang menjadi dingin. Tubuhnya mulai meringkuk, memeluk erat malam. Ia telah menciptakan hujan. Saat itu pula ia menjelma, perempuan senja pada sisi malam.
Yogyakarta, 27 Desember 2013