J A R A K
Dari sudut seratus delapan puluh
derajat, kita sejajar. Aku memandang wajahmu, tertidur pulas. Usai sudah
obrolan malam itu. Kini aku nikmati malam yang merengkuh setelah kau lebih dulu
merengkuhku. Tak ada kekhawatiran untuk jatuh dalam pelukanmu.
Esoknya busmu berjalan menjauh,
menciptakan jarak. Kau dan aku hanya berkirim pesan. Pernah suatu pagi terasa
lebih panas dari biasa, ku temukan sebuah lagu yang ingatkan kau pada yang
lampau. Sungguh, aku tak akan mengingat jika bukan kau yang mengingat terlebih
dulu.
Di balik jendela ku tatap hujan. Jarak,
membuatku tak bisa tiba-tiba menyandarkan kepalaku. Aku mencari-cari tanganmu,
yang ku temukan hanya angin. Jarak tak berpihak padaku.
Pesan singkatmu memintaku tak
khawatir, tapi tahukah kau? Kekhawatiran sudah menguasai otak. Apa dayaku?
Kepalaku tak tersambut oleh
belaian tanganmu. Aku masih saja menatap hujan, menahan gemuruh agar tak
banjir. Jarak, menciptakan bahasa menjadi sesuatu yang ambigu.
Mataku tak mampu menembus hujan,
apalagi menembus puluhan kilo meter jarak ini. Sungguh, seandainya kau
disampingku tak ada yang lebih bahagia selain hanya bersandar dan mendapat
belaian darimu.
Sayangnya, aku berada dalam ruang
kosong yang penuh. Hari-hariku terperangkap disini. Menatap hujan.
Suaramu jelas terdengar merambat
lewat udara, lagi-lagi dengan sabar kau memintaku tak khawatir. Aku tak bisa,
sungguh aku menyesal dengan perasaan ini. Setiap orang punya kekhawatiran kan? Begitu
juga kau.
Masih di balik jendela, telepon
genggamku dipengaruhi hujan. Sinyal menciut, aku percaya sinyal terpengaruh
cuaca, tapi sinyal kita? Terpengaruhkah oleh hujan?
Bahasamu mendiam. Otakku semakin
tak terkendali. Sungguh, tak akan kembali ku ingat jika bukan kau yang lebih
dulu. Perasaan salah mulai bercampur. Aku makin tak berdaya.
Hujan terlalu deras, ruang kosong
ini penuh air. Inikah perasaan yang pernah kau sebutkan? Pantas kah ku miliki
perasaan itu? Maaf.
Bumi Raya Tajem, 15 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar