Ia duduk
di tepi sebuah kursi panjang, siang telah digantikan malam. Nafasnya dihela
dengan panjang, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak mampu diucapnya.
Malam itu
purnama, ia tahu tak boleh berharap lebih selain memandangnya. Seandainya bisa,
ia ingin agar malam biarkan purnama lebih lama. Ingin ia katakan "Matahari
datanglah lebih lambat esok pagi".
Ia
menatap orang di hadapannya, tangannya digenggam tapi ia enggan berucap. Ia tak
ingin semua berhamburan. Tapi kediamannya telah menimbulkan pertanyaan. Apa
yang akan ia jawab?
"Lihat!
Purnamanya bagus sekali." Setengah berteriak ia berkata. Hanya itu yang
bisa dikatakannya. Malam itu cerah. Dalam hati ia berbisik, haruskah ia
bersyukur atau mengutuk hujan yang tak datang malam itu.
Diliriknya
jam di pergelangan tangannya, sudah lewat jam dua belas malam. Hari dan tanggal
pun sudah berganti, tapi ia masih diam, sungguh ia bingung dan membuat orang di
hadapannya turut bingung. Mereka menyantap makan malam yang kesiangan dengan lebih
banyak diam.
Ia tersadar
ia tak boleh berharap lebih, ia tersadar purnama makin turun ke barat. Adakah
orang di hadapannya tersadar?
"Pagi,
tolong jangan datang dulu." Doanya. Waktunya habis di sudut kedai dengan
kisah yang mengingatkan luka. Ia tahu pasti purnama di langit sana begitu
indah, sayang tak dapat dinikmatinya.
Ia hanya
berusaha mengerti, bisa melihatnya dan tertawa saja sudah cukup, ia sadar, tak
boleh berharap lebih. Purnama tertutup mendung, tolong muncul lagi, jangan
biarkan matahari cepat datang, kali ini saja. Ia tau, ia egois dan itu hampir
mustahil.
Yogyakarta,
November 2013