Senja menyelimuti keremangan ibu kota yang terlihat
makin mengecil. Kota kelahiran yang menjadi kota asing bagiku, setidaknya untuk
saat ini.
Beberapa menit lalu, baru saja
pesawat yang ku tumpangi lepas landas dari Bandar Udara Internasional Soekarno
Hatta. Penerbangan Jakarta menuju Jogja sore itu sangat sepi, saat lampu sabuk
pengaman padam beberapa anak kecil yang duduk di sebelahku mulai berpindah
mencari posisi pada tepi jendela pesawat. Para pramugari mulai mendorong kereta
makanan dan menjajakan menu-menu mereka.
Awan-awan senja menjadi jingga terlihat dari udara,
keremangan semakin menggelap dan siap menelan jingga. Jakarta terlihat semakin
mengecil, aku menjauh menuju timur.
Hingga pesawat telah terbang di atas permukaan
laut beribu-ribu kaki tingginya. Suasana kabin yang sepi menjadi ramai oleh
anak-anak yang mulai berceloteh mengenai sungai, awan dan apapun yang mereka
lihat hingga jendela pesawat hanya menampakkan awan yang bergumpal. Keceriaan
keluarga yang menikmati perjalanan mereka. Sementara itu, di belakangku seorang
anak berusia sekitar delapan tahun sudah tertidur pulas sambil mendekap lengan
ibunya.
Sayup-sayup mataku mulai
memberat, tidur selama tiga jam belum cukup rasanya apalagi baru satu cangkir
kopi yang ku hirup. Tidak sampai sepuluh menit aku tertidur di dalam kabin tak
terasa pesawat akan segera mendarat di kota tujuan, Jogjakarta. Cahaya
lampu-lampu kota Jogja dan sekitarnya mulai nampak, sebentar lagi pesawat siap
mendarat di Bandara Adisutjipto.
Jogjakarta, kota sejuta kenangan
pada tiap sudutnya, kisah tentang kehidupan, petualangan, dan secangkir kopi
tentunya! Kota Jogja semakin jelas terlihat saat pesawat mulai menukik turun,
ya aku rindu kota itu tapi saat ini rinduku tidak sebesar sebelumnya, baru kali
ini aku merasakan merindukan Jakarta seperti ini, perasaan berat meninggalkan
sesuatu yang masih asing bagiku bahkan sampai saat ini. Tidak ada antusias yang
menggebu-gebu saat pesawat bahkan telah mendarat dengan sempurna. Entah karena
esok aku harus menghadapi kembali rutinitasku di Jogja atau karena waktu yang
terlalu singkat untuk menikmati sebentar saja kenyamanan dalam rumah di
Jakarta.
Keluar dari kabin, aku menuruni
tangga pesawat dan berjalan ke gedung terminal menuju pintu keluar bandara.
Jogjakarta, aku kembali setelah satu minggu menjenguk kota kelahiranku. Malam
hari di Jogja tak jauh berbeda seperti sebelum-sebelumnya, tapi inilah
kehidupanku.
Aku sudah terpaku dalam petualanganku di Jogja yang
mengalahkan Jakarta meski senja dari jendela pesawat meninggalkan setitik rindu
pada kota kelahiran.
-12 Agustus 2013-
Dalam penerbangan
Jakarta menuju Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar