Ini pertama kalinya saya datang di warung kopi ini, bukan tempat yang biasa saya kunjungi untuk menikmati secangkir kopi. Suasananya tidak jauh berbeda, selayaknya warung kopi dengan harga di bawah lima ribu rupiah untuk satu cangkir. Cahaya yang remang-remang serta kursi dan meja kayu tanpa bantal duduk atau taplak meja. Saya memasuki warung dan menuju kasir untuk memesan secangkir kopi susu, kemudian menuju sebuah meja tepat di tengah-tengah warung. Tidak seperti biasanya juga dimana saya mungkin lebih memilih meja di suatu sudut ruangan, tapi tidak ada salahnya mengubah kebiasaan dan sudut pandang. Malam ini saya bersama seorang rekan kantor, sambil menunggu pesanan datang, kami mengobrol, ya selayaknya warung kopi kan? Disitu adalah tempat orang-orang menjajakan kehidupan sosialnya, bukan justru sibuk dengan teknologi yang mereka gunakan, kurang lebih begitu kecenderungan pendapat saya.
Dari tempat saya duduk, banyak
orang yang saya lihat, berlalu lalang atau asik dengan meja mereka
sendiri-sendiri. Di arah jam satu, saya lihat seorang perempuan tengah asik
dengan hisapan sishanya, sampai akhirnya seorang laki-laki yang mungkin adalah
temannya datang bergabung. Lain dengan meja di seberangnya, seorang wanita
berambut panjang menyulutkan api pada sebatang rokok dan menghisapnya. Banyak
orang lalu lalang melewati tempat kami duduk, saat itu saya sedang melepas
kacamata yang saya gunakan, hingga salah satu dari mereka yang lewat berhenti
dan menyalami teman saya, lalu bergabung dengan kami, perkenalan singkat yang
bahkan membuat saya tidak mengingat siapa namanya, ia lalu sibuk berbincang
dengan teman saya.
Lampu yang temaram dan mata saya
yang memang menderita minus membuat saya tidak terlalu jelas melihat
orang-orang di seluruh ruangan ini, karena itu saya kembali mengenakan kaca
mata saya. Tiba-tiba rekan baru kami berkata “ternyata mbaknya pakai kacamata
juga toh”. Saya menyapu ruangan dengan kacamata saya, lalu kembali melepasnya.
“Kacamata membuat kita melihat yang jauh menjadi jelas, tapi membatasi sudut
pandang kita” kata saya sambil menyeruput kopi yang semakin dekat dengan
ampasnya, entah atas dasar apa saya mengatakan itu tapi rasa-rasanya begitulah
yang saya rasakan. Teman saya tertawa kecil “mbak, kamu kebanyakan minum kopi
deh.”
Hahahaha, sepertinya begitu ya,
ini kopi cangkir kedua yang saya minum, setelah secangkir kopi hitam pahit di
lobby kantor tadi sore. Tapi sepertinya saya benar-benar merasa bahwa kacamata
membuat pandangan saya terbatas, pasti kan? Karena kacamata memiliki frame yang
sedikit mengganggu pandangan jarak dekat. Seringkali juga kacamata membuat saya
tidak focus dalam mengendarai motor, ia membuat saya terlalu fokus pada
kendaraan-kendaraan yang berada jauh di depan saya. Selain itu ia juga membuat
cahaya dari kendaraan tersebut menyilaukan penglihatan saya.
Tapi bagaimanapun,
dengan keadaan mata saya yang minus, saya tetap memerlukan teknologi kacamata.
Itulah kenapa saya tidak setiap saat menggunakan kacamata saya, selain karena
mata saya lelah, tapi melepas kacamata membuat pandangan saya menjadi lebih
luas. Sebenarnya tidak sepenuhnya begitu sih, melepas kacamata terus-terusan
mungkin juga menambah minus saya. Tapi kira-kira begitulah, ah sudahlah ini cuma
coret-coretan level warung kopi. :)
-
Yogyakarta, Januari 2013 -