Mengapa naik gunung?
Saya tidak akan mengutip jawaban yang dilontarkan Soe Hok
Gie dalam bukunya, tapi pertanyaan ini nyatanya juga kerap kali dipertanyakan
oleh keluarga dan teman-teman saya. Ya, mengapa naik gunung? Tanpa lampu, kasur
empuk, dan fasilitas lainnya, yah pokoknya kenapa mau ke gunung padahal di
rumah atau kota tersedia banyak hal yang enak.
Setiap orang yang mendaki gunung punya alasan dan kesenangan
masing-masing, entah itu karena ingin mencapai puncak atau hanya sekedar
menikmati suasananya. Saya ingat, pertama kali saya mendaki gunung pada tahun
2004, saat umur saya menjelang 16 tahun dan setelahnya lumayan sering saya
lakukan. Naik gunung, bagi saya adalah hal yang menyenangkan dan menarik. Pergi
ke tempat-tempat yang jauh dari kata “mewah” membuat saya merasa nyaman dalam
sebuah pelarian dari rutinitas keseharian yang menjenuhkan. Kita akan merasakan
nikmatnya tidur di dalam tenda hanya beralaskan matras yang digelar di atas
tanah dingin, dibelai kabut dingin, dan disambut sinar mentari pagi harinya.
Semua masakan yang dimakan terasa berkali-kali enaknya meski hanya sebungkus
indomie rebus dan kopi hangat.
Naik gunung, memberi saya kesempatan mengenal banyak orang
dan belajar banyak hal. Perjalanan berpeluh keringat dan batuan terjal membuat
saya belajar mengerti sifat banyak orang. Seperti kata teman-teman yang juga
senang naik gunung “sifat seseorang lebih terlihat saat naik gunung”.
Naik gunung memberikan saya sebuah kepuasan tersendiri,
bukan karena saya mencapai puncak dan berdiri lebih tinggi dari puncaknya, tapi
karena saya menemukan “kesederhanaan” di sana, bangun pagi disambut mentari dan
dingin kabut, masak dan makan, senda gurau bersama teman-teman, saya sejenak
melupakan jenuh dirongrong waktu dan materi. Naik gunung membuat saya
menghargai kesederhanaan, dimana semua tidak diukur dari “uang”, uang seperti
bukan nomor satu di sana, yah nggak ada kan indomaret di gunung? Dimana setiap
orang (para pendaki) saling bertegur sapa dan melempar senyum ketika berpapasan
di jalur, saling menolong saat yang lain susah padahal belum mengenal dengan
sangat dekat.
Naik gunung, memperlihatkan kepada saya banyak hal,
orang-orang baru, pemandangan indah, pembelajaran mengalahkan ego sendiri, dan
saling berbagi.
Semua orang bisa naik gunung, mencapai puncak, dan turun
lagi. Tapi tidak semua orang bisa mengalahkan ego sendiri. Naik gunung bukan
berarti kita telah “menaklukkan” gunung, puncak bukan tujuan.
SETIAP TITIK
ADALAH PUNCAK
Ya, Mengapa naik gunung? Karena di sana ada kesederhanaan……
Gunung Merapi, 8 Juli 2012.
-Sartika Noriza-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar