Katanya cinta itu kemurnian mengasihi dan menyayangi seseorang. Cinta itu kekuatan. Tapi apa jadinya saat cinta mengalah pada materi, jabatan, ataupun harga diri?
Saat itu mungkin cinta berubah menjelma jadi ketulusan untuk tidak pernah memiliki, atau berubah menjadi luka yang bersemayam dalam lubuk hati paling dasar.
Ani.
Namanya Ani. Saat itu masih duduk di kelas empat pendidikan Sekolah Dasar, usianya belum ada sepuluh tahun. Tinggal di sebuah gubuk dari rotan di pinggiran kota. Kulitnya hitam, mungkin akibat berjemur membantu ibunya mengurus kebun yang bukan milik mereka. Di sekolah hampir seluruh teman sekelasnya memandangnya dengan mengernyit. Tak ada yang mengajaknya main, kecuali dua orang gadis sebayanya yang akhirnya diajaknya berkunjung ke gubuknya yang masih beralaskan tanah merah. Dua gadis yang tak segan meminum teh tawar bubuk yang bahkan tak disaring.
Tak ada anak lelaki di kelasnya yang menyadari senyumnya yang manis, bermain puteri-puteri-an dengan dua temannya itu. Tapi bagi Ani, punya dua orang teman sudah lebih cukup meski tidak sampai setahun. Menginjak kelas lima, Ani berhenti sekolah. Ani akan menikah, tuan tanah pemilik kebun hendak memperistrinya. Laki-laki dewasa yang mungkin lebih pantas dipanggilnya "Bapak" menjadi suaminya. Atas dasar keadaan ekonomi keluarga dan ketidakberdayaan, Ani sepakat menjadi istri di usianya yang masih sepuluh tahun. Ani tak punya pilihan
Tegar.
Bekerja sebagai manajer senior di sebuah perusahaan telekomunikasi ternama, tak menjamin perjalanan cinta Tegar setegar namanya. Hampir ia mempersunting seorang gadis yang ia cintai. Meski pada akhirnya ia harus merelakannya pergi. Membiarkan hatinya terluka, pun dengan hati Indah, perempuan yang dicintainya. Orang tua Tegar tak merestui rencana pernikahan mereka, Tegar dijodohkan. Demi jabatan dan karir, serta hutang budi keluarga mereka pada keluarga komisaris utama tempat Tegar bekerja.
Bukannya Tegar tak punya pilihan, tapi ia begitu takut untuk berani memilih resiko. Setidaknya itulah anggapan Indah, yang selama satu bulan meratapi hubungannya yang kandas begitu saja karena perjanjian yang mengatasnamakan jabatan dan materi. Perasaan cinta rupanya dapat berbalik menjadi benci yang mendalam. Benci karena merasa tak diperjuangkan.Meski pada akhirnya baik Tegar ataupun Indah merelakan untuk saling melepaskan.
Wina.
Dua puluh tujuh tahun. Di usia yang perlahan semakin mendekati tiga puluh, Wina kerap kali jadi sasaran pertanyaan "kapan nikah?". Bukannya tak ingin atau terlalu berambisi mengejar karir, tapi Wina tak pernah memberi kesempatan pada dirinya sendiri. Berkali mencoba sebelumnya dan selalu gagal membuatnya sulit untuk percaya bahwa ia siap untuk jatuh cinta lagi.
Dua tahun lalu, terakhir kali disandarkan hatinya pada lelaki yang rupanya mampu mencintai beberapa perempuan sekaligus. Hal yang mungkin bisa diterima sebagian kecil kaum perempuan dan Wina tidak termasuk golongan itu. Hatinya hanya mampu mencintai satu lelaki dan tidak cukup berbesar hati untuk menerima adanya perempuan lain dan pada akhirnya mengakhiri hubungan cintanya. Memaafkan adalah perkara mudah, toh akhirnya Wina mampu kembali bangkit setelah patah, mampu melepaskan dan menerima bahwa lelaki itu tak pantas untuknya. Tapi melupakan adalah hal sulit untuknya, ditutupnya hati dan dikuburnya kenangan itu pada ruang yang disebut luka. Wina selalu punya pilihan, namun ia tak pernah memilih apapun, bahkan untuk memberi kesempatan pada dirinya sendiri. Sampai saat ini pun, Wina selalu punya pilihan.