Pasar Baroe, 10 Oktober 2014
Langkahnya cepat turun dari mobil yang mengantarnya dari Senen sore itu. Dengan bergegas ia berjalan menuju sebuah halte bus di belakang kantor pos yang cukup besar. Halte sudah ramai dengan orang yang telah sedari tadi menunggu bus untuk mengangkut mereka. Hal biasa yang terlihat pada jam pulang kantor. Ia berdiri pada tepi halte karena tak kebagian tempat duduk sembari was-was menunggu bus terakhir menuju kota tempat tinggalnya.
Petang itu bahkan belum menjadi begitu gelap di tengah sorot lampu ibu kota. Matahari belum terbenam betul di barat sana. Matanya melihat sekeliling meski lebih sering menoleh ke kiri untuk memastikan bus apa yang lewat. Pasar Baroe, pemandangan yang lama tak dinikmatinya sejak lebih sering menghabiskan hari di sebuah kota yang lebih kecil di tengah pulau Jawa.
Tubuhnya sudah cukup letih terkuras macet tadi siang, bahkan di jalan tol. Rupanya kota ini belum bisa diprediksinya dengan cukup tepat. Ia berdiri di atas sepatu berhak tujuh sentimeter berwarna krem, menikmati hilir mudik kendaraan yang terasa cepat, menikmati orang-orang yang menanti bus dengan wajah lelah usai bekerja, Besok akhir pekan, mungkin saatnya mereka berlibur sejenak dari penatnya lima hari kerja, berpacu dengan kecepatan yang bahkan menuntut mereka untuk lebih cepat.
Matahari senja mulai meredup, hampir hilang di ufuk barat. Busnya belum juga tiba, ia mulai gelisah. Gelisah karena bahkan ia tak mampu menikmati pemandangan itu lebih lama lagi. Ia gelisah menemukan bahwa ada hampa dalam keramaian, bahkan dalam keramaian lalu lintas seperti itu sekalipun. Untuk pertama kalinya, ia rasakan hampa di Pasar Baroe seiring dengan senja yang menghilang jadi tiada.....