Setiap orang pastinya ingin
merasakan bahagia. Apa ukuran bahagia itu? Kita sering melihat orang yang punya
segalanya, materi yang melimpah, jabatan yang tinggi, atau pasangan hidup yang
tampan atau cantik. Apa semua itu ukuran sebuah kebahagiaan?
Pagi hari tadi, saat terjebak
lampu merah selama seratus dua puluh detik di perempatan ring road utara,
seorang ibu dengan pecut di tangannya melenggak lenggok di atas aspal dengan
diiringi alunan gamelan yang dimainkan seorang pria paruh baya di tepi trotoar.
Inilah profesi mereka yang mencari nafkah di tiap persimpangan lampu merah. Tiga
puluh detik kakinya mencumbu aspal, kemudian ia menyodorkan botol plastik bekas
yang dipotong kepada para penontonnya. Setiap koin atau uang kertas dijatuhkan
ke dalam botol itu, ia tersenyum menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terima
kasih dalam bahasa jawa, seraya pergi bergeser ke para penonton lain dan
kembali merapat ke tepi trotoar menanti lampu merah berikutnya. Saat itulah
saya kemudian ikut tersenyum, tidak ada yang istimewa dalam kejadian itu, tapi
melihatnya tersenyum karena apa yang bisa kita bagi bersamanya membuat kita
juga dapat tersenyum bahagia. Sekecil apapun nilainya.
Berkaca dari hal yang saya lihat
pagi tadi, saya berpikir, orang-orang yang dikatakan memiliki segalanya, apa
mereka juga pernah beruntung dapat merasakan hal yang saya alami tadi? Di balik
uang-uang yang melimpah, kadang kala kita merasa kurang bahagia karena selalu
merasa “kurang”, kesepian karena kadang orang-orang mengenal kita karena segala
yang kita punya. Dengan jabatan yang tinggi, kadang kita merasa kurang bahagia
karena terlalu mengejar apa yang kita obsesikan. Orang-orang yang memiliki
pasangan hidup pun belum tentu selalu bahagia, terkadang kita terlalu
memikirkan bagaimana caranya untuk “memiliki” hingga pikiran kita tersita
dengan rasa-rasa yang justru terasa menyakitkan, dan bahkan hingga melupakan
bagaimana caranya untuk saling “berbagi”.
Bahagia itu sederhana dan tidak mahal…….
Sartika Noriza
Yogyakarta, 20 September 2012